Pura Batu Madeg adalah tempat suci umat Hindu yang terletak di utara Pura Penataran Agung Besakih. Disebut Pura Batu Madeg karena di pura tersebut terdapat sebuah batu yang tegak. Batu madeg dalam bahasa Bali diartikan batu tegak berdiri. Batu Madeg dalam ilmu arkeologi disebut menhir, pada zaman kebudayaan megalitikum.
Batu Madeg ini simbol pemujaan Batara Ida Ratu Sakti Watu Madeg manifestasi Ida Batara Wisnu dalam sistem pemujaan Paksa Siwa Pasu Pata. Ketika sistem pemujaan itu berubah menjadi Siwa Sidhanta, Batu Madeg itu diletakkan di dalam sebuah Meru Tumpang Sebelas. Meru Tumpang Sebelas dengan Batu Madeg di dalamnya inilah pelinggih yang utama di Pura Batu Madeg tersebut. Pura ini tergolong Pura Catur Dala berposisi di arah utara, simbol stana Dewa Wisnu dalam konsep pangider-ider Siwa Sidhanta Paksa.
Yang patut kita perhatikan adalah Pelinggih Meru Tumpang Sebelas dengan Batu Madeg di dalamnya. Menhir sebagai peninggalan kebudayaan Hindu zaman megalitikum sebagai simbol pemujaan Batara Wisnu itu tetap dipergunakan, meskipun sistem pemujaan itu sudah berubah. Meskipun yang dominan sistem Siwa Sidhanta Paksa, tetapi Paksa Siwa Pasupata tetap juga dilanjutkan, bahkan dipadukan dalam satu tempat pemujaan. Ini artinya perbedaan paksa atau sekte keagamaan itu tidak menjadi persoalan di antara kelompok sosial keagamaan Hindu tersebut. Apalagi perbedaan kedua paksa keagamaan Hindu saling melengkapi.
Siwa Pasupata lebih menekankan pada arah beragama ke dalam diri atau Niwrti Marga. Sedangkan Siwa Sidhanta suatu paksa keagamaan Hindu yang juga sekte Siwa lebih menekankan pada arah beragama keluar diri atau Prawrti Marga. Kedua arah beragama ini memang berbeda tetapi saling melengkapi. Demikian bijaksananya leluhur umat Hindu di Bali dalam mengelola perbedaan. Tidak terjadi satu sekte merendahkan sekte yang lainnya. Pada zaman modern dewasa ini hal itu patut kita renungkan dalam mengelola perbedaan. Lebih-lebih ke depan keadaan zaman akan semakin heterogen dalam segala tatanan kehidupan, termasuk dalam kehidupan beragama. Apalagi agama Hindu menyediakan banyak jalan untuk mengembangkan diri dalam bidang spiritual menurut kitab suci Veda. Terjadinya berbagai perbedaan penampilan luar dari sistem beragama Hindu bukan sebagai suatu pertentangan. Tetapi itulah keindahan dari Hinduisme.
Pura Batu Madeg sesungguhnya menghadap ke barat. Tetapi umat pada umumnya merasakan pura itu menghadap ke selatan. Di Pura Batu Madeg ini terdapat lima buah pelinggih Meru. Di sisi timur areal jeroan pura, berjejer dari utara ke selatan. Dari utara ada dua Meru Tumpang Sembilan. Yang paling utara merupakan Pelinggih Ida Manik Angkeran. Di selatannya Pelinggih Ida Ratu Mas Buncing. Di selatan pelinggih Ida Ratu Mas Buncing adalah Meru Tumpang Sebelas yang di dalamnya ada Batu Madeg. Meru inilah sebagai pelinggih yang paling utama sebagai stana pemujaan Batara Sakti Batu Madeg sebagai manifestasi Batara Wisnu.
Di selatannya ada Pelinggih Meru Tumpang Sebelas juga sebagai Pelinggih Ida Batara Bagus Bebotoh. Di pelinggih ini umat memuja Tuhan agar dapat mengalihkan sifat bebotoh berjudi menjadi bebotoh bekerja untuk tujuan yang mulia. Umat jangan salah tafsir Pelinggih Ida Batara Bebotoh itu bukan tempat pemujaan umat agar menang berjudi. Sebab, ajaran Veda sangat melarang umatnya berjudi. Meru Tumpang Sebelas yang paling selatan sebagai Pelinggih Ida Ratu Manik Bungkah. Pelinggih ini mungkin ada kaitannya dengan fungsi Tuhan sebagai Batara Wisnu untuk melindungi kesuburan tanah.
Sebab, hanya air yang dapat menembus tanahlah yang akan dapat menyuburkan tanah. Hal ini dimaksudkan agar umat jangan menutup lahan sebagai daerah resapan. Kalau lahan resapan tertutup maka air akan langsung terbuang ke laut. Ini artinya memuja Batara Manik Bungkah sebagai media spiritual untuk memotivasi umat agar senantiasa melindungi daerah resapan air agar tanah dengan akar-akar pepohonannya dapat berfungsi bagaikan waduk menyimpan air sepanjang masa.
Keberadaan tanah yang penuh dengan pepohonan itu akan dapat menyerap air dan pohon juga dapat membersihkan pencemaran udara dan juga air. Memuja Tuhan sebagai Batara Wisnu adalah memotivasi diri umat agar senantiasa melindungi keberadaan air dan pepohonan. Sebab, keberadaan alam itulah yang akan membuat hidup kita menjadi lestari.
Di depan Meru Tumpang Sebelas, pelinggih pemujaan Batara Sakti Batu Madeg terdapat Balai Pesamuan yaitu pelinggih yang berbentuk segi empat dengan enam belas tiang berjejer dua baris. Jajar baris di luarnya disebut jajar dan yang di dalamnya disebut beti. Balai Pesamuan inilah sebagai media untuk turun ke dunia berkumpulnya semua sidhinya Batara Wisnu sebagai pemelihara dan pelindung ciptaan Tuhan. Balai Pesamuan itu akan sangat kelihatan fungsinya terutama saat ada pujawali dan upacara yadnya yang besar. Di sebelah kanan Balai Pesamuan terdapat Balai Sedahan Ngerurah terdapat sebuah Lingga yang wujudnya sangat sempurna sebagai media pemujaan Dewa Siwa dalam budaya megalitikum. Di sebelah Meru Pelinggih Ratu Bagus Bebotoh terdapat Pelinggih Pepelik stana Batara Hidung Lantang sebutan masyarakat pada Batara Gana. Upacara Piodalan di pura ini setiap enam bulan wuku yaitu setiap Soma Umanis Wuku Tolu.
Di pintu atau pemedal jeroan pura terdapat pelinggih yang disebut Balai Pegat bertiang delapan dengan dua balai yang terpisah. Balai Pegat ini fungsinya untuk nunas Tirtha Pangelukatan sebagai simbol umat berkonsentrasi memusatkan pikirannya pada Ida Batara Sakti Batu Madeg dan untuk sementara melupakan hal-hal yang bersifat duniawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar