Agunk Bangli menerima pembuatan website. hubungi lewat email : rama_agunk@yahoo.com

Sabtu, 19 Desember 2009

Batu merah delima





Batu merah delima ini umumnya dikenal dengan nama "Rubby Sapphire". Batu ini berwarna merah gelap dan nampak seperti merah darah. Batu yang tersedia saat ini, berukuran lebih besar dari kacang tanah. Di Indonesia kalau kita berbicara tentang batu permata umumnya yang terbayang adalah dua hal yakni batu yang diyakini mempunyai tuah (misal kebal terhadap bacokan golok) atau berlian.

Jumlah batu permata yang ada di dunia mencapai ribuan jenis yang dibentuk dari unsur kimia tertentu berdasarkan ilmu geologi, tetapi diyakini ada pula batu yang disebut batu mustika yang konon berasal dari vegetasi, binatang dll.

Bahkan sebagian besar orang di dunia ini masih meyakini bahwa batu permata dapat mempengaruhi pemakainya yang didasarkan hari kelahiran yang diimplementasikan pada bintang kelahiran, seperti ruby diyakini bagus bagi orang yang lahir pada bulan juli (Leo).. Disini akan kita ulas sedikit batu permata yang dikatakan sebagai rajanya dunia batu permata yaitu Ruby atau orang Indonesia ada yang menamakannya Batu Merah Delima. Untuk menentukan keaslian Batu Merah delima diyakini oleh sebagian orang adalah jika batu tersebut direndam dalam air, maka airnya akan berwarna merah darah bahkan air disekitarnya bisa nampak menjadi merah pula.

Pada masa lampau Ruby digunakan sebagai pengobatan alternatif untuk penawar racun atau untuk meracuni,untuk menghindarkan orang dari wabah, untuk membuang duka cita, untuk menindas sikap sombong,dan untuk mengalihkan pikiran dari berfikir untuk berbuat jahat bahkan dapat mengubah logam jadi emas. Bahkan sebagian orang mengatakan ruby dapat dipakai sebagai perantara akan cita-cita yang diinginkan, meramalkan nasib atau keberuntungan dalam spekulasi bisnis atau cinta terhadap seorang perempuan atau untuk menghilangkan sikap acuh tak acuh kekasihnya.

Untuk sekedar diketahui, ada banyak mitos yang beredar luas di masyarakat, bahwa batu merah delima yang dapat mengeluarkan cahaya bila ditaruh dalam gelas berisi air, maka air tersebut akan menjadi merah sesungguhnya tidak demikian. Batu merah delima asli memang mengeluarkan cahaya merah ketika ditaruh dala air namun air tersebut tidak serta merta berubah menjadi merah. Fakta sebenarnya ialah bahwa air tersebut nampak menjadi merah karena pantulan cahaya yang berasal dari batu merah delima tersebut. Sedangkan airnya sendiri tetap berwarna bening. Seringkali dilakukan uji keaslian dan kekuatan rambatan cahaya merah dengan meletakkan gelas berisi air lalu dimasukkan batu merah delima kedalam gelas tersebut, kemudian gelas tersebut diletakkan berdempetan dan sejajar lurus dengan gelas lain (Gelas kaca), maka nampak air yang di gelas lain turut berwarna merah.

Barong Landung





Barong Landung adalah pralingga, sekaligus perisai bagi desa-desa yang terancam kegeringan. Bahkan di banyak tempat,Barong Landung dipuja sebagai simbol sejarah yang sangat kelam di masa lalu. Kisah yang bersumber ketika Sri Jaya Pangus, raja Bali dari dinasti Warmadewa, kerajaannya berpusat di Panarojan, tiga kilometer di sebelah utara Kintamani. Sri Jaya Pangus dituduh telah melanggar adat yang sangat ditabukan saat itu, yakni telah dengan berani mengawini putri Cina yang elok bernama Kang Cing Wei. Meski tidak mendapatkan berkat dari pendeta kerajaan, Mpu Siwa Gama, sang raja tetap ngotot tidak mau mundur. Akibatnya, sang pendeta marah, lalu menciptakan hujan terus menerus, hingga seluruh kerajaan tenggelam.

Dengan berat hati sang raja memindahkan kerajaannya ke tempat lain, kini dikenal dengan nama Balingkang (Bali + Kang), dan raja kemudian dijuluki oleh rakyatnya sebagai Dalem Balingkang. Sayang, karena lama mereka tidak mempunyai keturunan, raja pun pergi ke Gunung Batur, memohon kepada dewa di sana agar dianugerahi anak. Namun celakanya, dalam perjalanannya ia bertemu dengan Dewi Danu yang jelita. Ia pun terpikat, kawin, dan melahirkan seorang anak lelaki yang sangat kesohor hingga kini, Maya Danawa.

Sementara itu, Kang Cing Wei yang lama menunggu suaminya pulang, mulai gelisah, Ia bertekad menyusul ke Gunung Batur. Namun di sana, di tengah hutan belantara yang menawan, iapun terkejut manakala menemukan suaminya telah menjadi milik Dewi Danu.Ketiganya lalu terlibat pertengkaran sengit.

Dewi Danu dengan marah berapi-api menuduh sang raja telah membohongi dirinya dengan mengaku sebelumnya sebagai perjaka.Dengan kekuatan gaibnya, Dalem Balingkang dan Kang Cing Wei dilenyapkan dari muka bumi ini. Oleh rakyat yang mencintainya, kedua suami istri -- Dalem Balingkang dan Kang Cing Wei -- itu lalu dibuatkan patung yang dikenal dengan nama Stasura dan Bhati Mandul. Patung inilah kemudian berkembang menjadi Barong Landung.

Barong Landung bukanlah sekadar penghias pura, iaadalah duwe dengan segala perwujudannya yang sangat keramat. Ia dibuat pada dewasa ayu kilang-kilung, dari kayu bertuah seperti pule, jaran, waruh teluh, kepah, kapas, dan "dihidupkan" dengan ritual prayascita serta di-plaspas untuk menghapuskan papa klesa secara sekala niskala. Di sini, ia pun diberi pedagingan berupa perak, emas, dan tembaga, juga pudi mirah (sejenis permata) yang dipasangkan di ubun-ubun lengkap dengan rerajahan-nya -- ang, ung, dan mang.

Setelah seluruh bagian tubuhnya disatukan dalam upakara masupati yang dipermaklumkan oleh sulinggih, pemangku, maupun sangging ke hadapan Dewa Surya, Siwa, dan Sapu Jagat, Barong Landung lalu dibawa ke tengah kuburan. Di situ, di tengah kegelapan malam kajeng kliwon, pemundut harus duduk di atas tiga tengkorak manusia sambil meneguhkan hatinya untuk menerima ritual yang paling mengguncangkan, yaitu masuci dan ngerehin.

Biasanya, jika Barong Landung ini sudah kalinggihin, akanada pertanda jatuhnya kilatan cahaya gaib ke tubuh pemundut hingga ia kesurupan, dan Barong Landung pun menjadi terguncang-guncang tanpa kendali. Jika hal ini terjadi, maka Barong Landung telah dianggap "hidup" dan pantas diberi gelar Jro Gde untuk barong laki-lakinya dan Jro Luh untuk wanitanya.

Jro Gde memiliki tubuh hitam, rambut lurus lebat, mata sipit, gigi jongos, dan memakai keris. Sedangkan Jro Luh bertubuh ramping, putih seperti layaknya wanita Cina, dan memakai kebaya Cina. Kedua tangan kiri barong ini ditekuk ke pinggang, yang oleh pengamat kebatinan diyakini sebagai sikap pengendalian diri, mengingat kiri sama artinya dengan pengiwa. Lawan pengiwa adalah penengen, tangan kanan, yang sengaja dibuat lurus sebagaimana jalan kebenaran.

Kamis, 17 Desember 2009

Keris di bali





Keris adalah senjata tikam khas indonesia. Berdasarkan dokumen-dokumen purbakala, keris dalam bentuk awal telah digunakan sejak abad ke-9. Kuat kemungkinannya bahwa keris telah digunakan sebelum masa tersebut.
Penggunaan keris sendiri tersebar di masyarakat rumpun melayu. Pada masa sekarang, keris umum dikenal di daerah indonesia (terutama di daerah jawa, madura, bali/lombok, sumatra, sebagian kalimantan.
Keris memiliki berbagai macam bentuk, misalnya ada yang bilahnya berkelok-kelok (selalu berbilang ganjil) dan ada pula yang berbilah lurus. Orang Jawa menganggap perbedaan bentuk ini memiliki efek esoteri yang berbeda.
Selain digunakan sebagai senjata, keris juga sering dianggap memiliki kekuatan supranatural. Senjata ini sering disebut-sebut dalam berbagai legenda tradisional, seperti keris empu gandring dalam legenda ken arok dan ken dedes.
Bagi masyarakat Bali, keris memang dianggap sakral. Benda yang banyak memiliki lekukan di sisi pinggirnya itu dipandang sebagai benda pusaka dan senjata pamungkas di wilayah peperangan. Bahkan, keris melambangkan perlawanan terhadap roh jahat melalui perlindungan dewa-dewa.

Secara historis, keris Bali adalah bagian dari peninggalan kekuasaan Kerajaan Majapahit. Konon, pengaruh kebudayaan Majapahit sangat kuat sehingga alat peperangan seperti keris diadopsi pula oleh kerajaan-kerajaan di Pulau Dewata. Secara filosofis, keris Bali dipandang sebagai perlambang dari nilai ajaran kehidupan agama Hindu. Bahkan, mereka memiliki hari tertentu untuk bersembahyang saat akan merawat kesucian dari keris pusaka miliknya. Keris juga dipandang sebagai benda yang memiliki estetika di dalam kehidupan masyarakat di sana. Hingga kini keris malah masih dipandang sebagai perlambang kekuatan dan simbol kekuasaan.

Biasanya, penganut Hindu yang menyimpan keris pusaka Bali menentukan pembersihan berdasarkan perputaran bulan terhadap bumi. Sedangkan penentuan hari ritual pencucian disesuaikan dengan penanggalan kuno Hindu Bali. Perlakuan terhadap keris pun bersifat sakral. Maklum, keris dianggap memiliki kekuatan magis. Mereka percaya keris adalah manifestasi dari roh para leluhur. Biasanya, keris seperti itu disebut Keris Tayuhan, yang pembuatannya mementingkan tuah ketimbang keindahannya, pemilihan bahan besi, dan pembuatan pamornya. Keris semacam itu biasanya wingit, angker, memancarkan perbawa dan kadang menakutkan. Karena itu, sebagian masyarakat Bali rela bersusah payah untuk sekadar memperoleh keris yang bertuah.

Rabu, 16 Desember 2009

Prosesi Ngereh Petapakan Ida Betara







Ngereh biasanya berhubungan dengan Upacara Sakral berupa : Pasupati, Ngatep dan Mintonin. Ngereh artinya memusatkan pikiran, dengan mengucapkan mantra dalam hati, sesuai dengan tujuan yang bersangkutan. Pasupati artinya kekuatan dari Dewa Siwa. Ngatep artinya mempertemukan dan Mintonin adalah bahasa Jawa Kuna yang artinya menampakkan diri.

Dalam prosesi Ngereh Petapakan Ida Betara diperlukan tiga tingkatan upakara seperti ; Prayascita dan Mlaspas, Ngatep dan Pasupati, Masuci dan Ngerehin

Pengertian ketiga tingkatan upacara sakralisasi proses Ngereh Petapakan Betara diatas adalah sebagai berikut : Tingkat Prayacitta dan Melaspas. Tujuan dari upacara ini adalah untuk menghapuskan noda baik yang bersifat sekala maupun niskala yang ada pada kayu dan benda lain yang digunakan untuk pembuatan Petapakan Betara. Noda ini dapat saja ditimbulkan oleh sangging (seni ukir) ataupun bahan itu sendiri. Dengan Upacara Prayascitta diharapkan kayu atau bahan itu menjadi bersih dan suci serta siap untuk diberikan kekuatan. Upakara tersebut dihaturkan kehadapan Sang Hyang Surya, Sang Hyang Siwa dan Sang Hyang Sapujagat.

Ngatep dan Pasupati dapat dilakukan oleh Pemangku (orang suci) dan Sangging (seni ukir). Dengan upacara ini terjadilah proses Utpeti (kelahiran) terhadap Petapakan Betara. Mulai saat itu dapat difungsikan sebagai personifikasi dari roh atau kekuatan gaib yang diharapkan oleh penyungsungnya (Pemujanya). Tingkat Masuci dan Ngrehin, merupakan tingkat upacara yang terakhir dengan maksud Petapakan Betara menjadi suci, keramat dan tidak ada yang ngeletehin (menodai). Tujuan upacara adalah untuk memasukkan kekuatan gaib dari Tuhan. Dengan demikian diharapkan Petapakan Betara mampu menjadi pelindung yang aktif. Upacara ini biasanya dilakukan pada dua tempat yaitu di pura dan di kuburan. Apabila dilakukan di kuburan yang dianggap tenget (angker), maka diperlukan tiga tengkorak manusia yang berfungsi sebagai alas duduk bagi yang memundut (mengusung). Begitu pula bila dilakukan di pura maka tengkorak manusia dapat diganti dengan kelapa gading muda. Upacara ini biasanya dilakukan pada tengah malam terutama pada hari-hari keramat seperti hari kajeng kliwon menurut kalender Bali. Sebagai puncak keberhasilan upacara ini adalah adanya kontak dari alam gaib yaitu berupa seberkas sinar yang jatuh tepat pada pemundutnya (pengusungnya). Si pemundut (pengusung) yang kemasukan sinar itu akan dibuat kesurupan (trance) dan pada saat itu pula si pemundutnya (pengusungnya) menari-nari. Kejadian lain yang menandakan upacara ini berhasil adalah apabila Petapakan Betara bergoyang tanpa ada yang menyentuhnya.

Jadi ritual Ngereh itu adalah peristiwa kesurupan, yang sengaja dibuat karena untuk membuktikan bahwa “topeng” yang diupacarai sudah memiliki kekuatan gaib untuk keselamatan masyarakat penyungsungnya (Pemujanya).

Selasa, 15 Desember 2009

Proses NgeLeak





Pada dasarnya ilmu ini sangat rumit dan rahasia sekali, jarang seorang guru mau dengan terang-terangan memberikan ilmu ini dengan cuma-cuma. Begitu juga saya belajar dengan tiga guru dengan sangat susah payah harus "ngesorang rage" biar bisa diterima jadi murid. Dalam hal ini sebenarnya saya tukar ilmu dengan para guru saya, saya belajar ilmu Bali guru saya belajar ilmu versi India.

Sebelum seorang belajar ilmu leak terlebih dahulu harus diketahui otonan orang tersebut ( hari lahir versi Bali) hal ini sangat penting, karena kwalitas dari ilmu yang dianut bisa di ketahui dari otonanya, satu contoh apabila murid mempunyai otonan SUKRA PON MEDANGSIA berarti dewanya adalah Brahma, otomatis karakter orang tersebut cendrung emosional dalam hal apapun, dan digandrungi perempuan, nah..sang guru harus hati-hati memberikan pelajaran ini kalau tidak murid akan celaka oleh ilmu tersebut. Setelah diketahui barulah proses belajar di mulai, pertama-tama murid harus mewinten Brahma widya, dalam bahasa lontar NGERANGSUKAN KAWISESAN, dan hari baik pun tentunya dipilih oleh sang GURU.
Tahap dasar murid diperkenalkan dengan AKSARA WAYAH atau MODRE, dalam hal ini tidak bisa dieja aksara tersebut BAKU !!! Selajutnya murid diRajah seluruh tubuh dari atas sampe bawah...oleh sang guru, hal ini di lakukan di KUBURAN pada saat kajeng kliwon nyitan.

SUMPAH...

Selesai dari proses ini barulah sang murid sah diajarkan oleh sang guru, ada 5 sumpah yang dilakukan di kuburan :
1 hormat dan taat dengan ajaran yang di berikan oleh guru
2 Selalu melakukan ajapa-ajapa dan menyembah SIWA Dan DURGA dalam bentuk ilmu kawisesan,
3 tidak boleh pamer kalau tidak kepepet, selalu menjalankan darma,
4 tidak boleh makan daging kaki empat, tidak boleh bersetubuh ( zina)
5 tidak boleh menyakiti atau dengan carapapun melalui ilmu yang kita pelajari...

Mungkin karena peraturan no 4 ini sangat ditakuti akhirnya kebanyakan ilmu ini di pelajari oleh perempuan, sebab perempuan lebih kuat menahan nafsu birahi dari laki-laki. Di Bali yang namanya Rangda selalu indentik dengan wajah seram, tapi di jawa di sebut RONDO berarti janda, inilah alasanya kenapa dahulu para janda lebih menguasai ilmu pengeleakan ini dari pada laki-laki, dikarenakan wanita lebih kuat nahan nafsu... Pada dasarnya kalau boleh saya katakan ilmu ini berasal dari tanah Jawa, campuran aliran SIWA dan BUDHA, yang di sebut dengan BAJRAYANA.

Naga banda





Sekitar abad ke XVI Dalem sebagai penguasa tertinggi di Pulau Bali membuat tata aturan bagi orang-orang yang meninggal terutama pejabat-pejabat pemerintahan dan para pendeta. Diperkiraka peraturan mengenai wadah petulangan dan gelar-gelar kebangsawanan ditetapkan pada zaman Dalem Dimade karena sejak saat itulah baru dikenal gelar I Gusti Agung untuk jabatan Patih Agung dan I Gusti untuk jabatan penguasa-penguasa daerah di bawah Dalem termasuk para patih.

Sebelum zaman Dalem Dimade hanya dikenal sebutan Ki atau Arya. Kemungkinan juga pedarman-pedarman yang ada di Besakih di kompleks sebelah timur penataran agung dibangun pada zaman ini dimana para ksatria yang memegang wilayah diperkenankan membuat pedarman dengan tumpang merunya dibentuk menurut kekuasaan atau kedudukannya waktu itu.

Aturan ini diwarisi turun temurun oleh warganya masing-masing. Demikianlah para pendeta yang meninggal ditetapkan memakai wadah yang berbentuk padmasana. Para raja-raja di bawah kekuasaan Dalem dan pejabat-pejabat yang berkuasa waktu itu menggunakan wadah dengan tumpang-tumpang tertentu sesuai dengan kedudukannya yang telah diatur oleh Dalem. Tumpang-tumpang bade untuk para pejabat dan turunannya dibatasi dari tumpang tiga sampai tumpang Sembilan. Demikian juga petulangannya ditetapkan bagi mereka yang boleh memakai lembu, singa, naga kaang, gajah mina dan sebagainya. Umumnya para ksatria hamper semuanya memakai petulangan lembu sedangkan untuk golongan khusus lainnya berdasarkan fungsi atau keahliannya memakai petulangan singa, gajah mina, dan naga kaang.

Khusus untuk Dalem beserta turunannya bisa memakai tumpang sebelas dengan naga banda dan petulangan lembu.

Minggu, 13 Desember 2009

Pura Luhur Uluwatu






Pura Luhur Uluwatu ini berada di Desa Pecatu Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Pura Luhur Uluwatu dalam pengider-ider Bali berada di arah barat daya sebagai pura untuk memuja Tuhan sebagai Batara Rudra. Kedudukan Pura Luhur Uluwatu tersebut berhadap-hadapan dengan Pura Andakasa, Pura Batur dan Pura Besakih. Karena itu umumnya banyak umat Hindu sangat yakin di Pura Luhur Uluwatu itulah sebagai media untuk memohon karunia menata kehidupan di bumi ini.

Karena itu, di Pura Luhur Uluwatu itu terfokus daya wisesa atau kekuatan spiritual dari tiga dewa yaitu Dewa Brahma memancar dari Pura Andakasa, Dewa Wisnu dari Pura Batur dan Dewa Siwa dari Pura Besakih. Tiga daya wisesa itulah yang dibutuhkan dalam hidup ini. Dinamika hidup akan mencapai sukses apabila adanya keseimbangan Utpati, Stithi dan Pralina secara benar, tepat dan seimbang.

Menurut Lontar (pustaka kuna) Kusuma Dewa Pura ini didirikan atas anjuran Mpu Kuturan sekitar abad ke-11. Pura ini salah satu dari enam Pura Sad Kahyangan yang disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa. Pura yang disebut Pura Sad Kahyangan ada enam yaitu Pura Besakih, Pura Lempuhyang Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, Pura Luhur Batukaru dan Pura Pusering Jagat.

Berhubung banyak lontar yang menyebutkan Sad Kahyangan, maka tahun 1979-1980 Institut Hindu Dharma (sekarang Unhi) atas penugasan Parisada Hindu Dharma Pusat mengadakan penelitian secara mendalam. Akhirnya disimpulkan bahwa Pura Sad Kahyangan menurut Lontar Kusuma Dewa keenam pura itulah yang ditetapkan. Lontar tersebut dibuat tahun 1005 Masehi atau tahun Saka 927, hal ini didasarkan pada adanya pintu masuk di Pura Luhur Uluwatu menggunakan Candi Paduraksa yang bersayap.

Candi tersebut sama dengan candi masuk di Pura Sakenan di Pulau Serangan Kabupaten Badung. Di candi Pura Sakenan tersebut terdapat Candra Sangkala dalam bentuk Resi Apit Lawang yaitu dua orang pandita berada di sebelah-menyebelah pintu masuk. Hal ini menunjukkan angka tahun yaitu 927 Saka, ternyata tahun yang disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa sangat tepat.

Dalam Lontar Padma Bhuwana disebutkan juga tentang pendirian Pura Luhur Uluwatu sebagai Pura Padma Bhuwana oleh Mpu Kuturan pada abad ke-11. Candi bersayap seperti di Pura Luhur Uluwatu terdapat juga di Lamongan, Jatim. Pura Luhur Uluwatu berfungsi sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra dan terletak di barat daya Pulau Bali. Pura Luhur Uluwatu didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka dan Padma Bhuwana.

Sebagai pura yang didirikan dengan konsepsi Sad Winayaka, Pura Luhur Uluwatu sebagai salah satu dari Pura Sad Kahyangan untuk melestarikan Sad Kertih (Atma Kerti, Samudra Kerti, Danu Kerti, Wana Kerti, Jagat Kerti dan Jana Kerti). Sedangkan sebagai pura yang didirikan berdasarkan Konsepsi Padma Bhuwana, Pura Luhur Uluwatu didirikan sebagai aspek Tuhan yang menguasai arah barat daya. Pemujaan Dewa Siwa Rudra adalah pemujaan Tuhan dalam memberi energi kepada ciptaannya.

Ida Pedanda Punyatmaja Pidada pernah beberapa kali menjabat Ketua Parisada Hindu Dharma Pusat mengatakan bahwa di Pura Luhur Uluwatu memancar energi spiritual tiga dewa. Kekuatan suci ketiga Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu dan Siwa) menyatu di Pura Luhur Uluwatu. Karena itu umat yang membutuhkan dorongan spiritual untuk menciptakan, memelihara dan meniadakan sesuatu yang patut diadakan, dipelihara dan dihilangkan sering khusus memuja Dewa Siwa Rudra di Pura Luhur Uluwatu.

Salah satu ciri hidup yang ideal menurut pandangan Hindu adalah menciptakan segala sesuatu yang patut diciptakan. Memelihara sesuatu yang patut dipelihara dan menghilangkan sesuatu yang patut dihilangkan. Menciptakan, memelihara dan menghilangkan sesuatu yang patut itu tidaklah mudah. Berbagai hambatan akan selalu menghadang.

Dalam menghadapi berbagai kesukaran itulah umat sangat membutuhkan kekuatan moral dan daya tahan mental yang tangguh. Untuk mendapatkan keluhuran moral dan ketahanan mental itu salah satu caranya dengan jalan memuja Tuhan dengan tiga manifestasinya. Untuk menumbuhkan daya cipta yang kreatif pujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma.

Untuk memiliki ketetapan hati memelihara sesuatu yang patut dipelihara pujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu. Untuk mendapatkan kekuatan untuk menghilangkan sesuatu yang patut dihilangkan pujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa. Energi spiritual ketiga manifestasi Tuhan itu menyatu dalam Dewa Siwa Rudra yang dipuja di Pura Luhur Uluwatu.

Pura Luhur Uluwatu ini tergolong Pura Kahyangan Jagat. Karena Pura Sad Kahyangan dan Pura Padma Bhuwana itu adalah tergolong Pura Kahyangan Jagat. Di Pura Luhur Uluwatu ini Batara Rudra dipuja di Meru Tumpang Tiga. Di sebelah kanan dari Jaba Pura Luhur Uluwatu ada Pura Dalem Jurit sebagai pengembangan Pura Luhur Uluwatu pada zaman kedatangan Dang Hyang Dwijendra pada abad ke-16 Masehi.

Di Pura Dalem Jurit ini terdapat tiga patung yaitu patung Brahma, Ratu Bagus Dalem Jurit dan Wisnu. Ratu Bagus Dalem Jurit itulah sesungguhnya Dewa Siwa Rudra dalam wujud Murti Puja. Pemujaan energi Tri Murti dengan sarana patung ini merupakan peninggalan sistem pemujaan Tuhan dengan sarana patung dikembangkan dengan sistem pelinggih. Karena saat beliau datang ke Pura Dalem Jurit itu sistem pemujaan di Pura Luhur Uluwatu masih sangat sederhana karena kebutuhan umat memang juga masih sederhana saat itu.

Pura Luhur Uluwatu juga memiliki beberapa pura Prasanak atau Jajar Kemiri. Pura Prasanak tersebut antara lain Pura Parerepan di Desa Pecatu, Pura Dalem Kulat, Pura Karang Boma, Pura Dalem Selonding, Pura Pangeleburan, Pura Batu Metandal dan Pura Goa Tengah. Semua Pura Prasanak tersebut berada di sekitar wilayah Pura Luhur Uluwatu di Desa Pecatu. Umumnya Pura Kahyangan Jagat memiliki Pura Prasanak.

Sabtu, 12 Desember 2009

Pura Kehen




Pura Kehen yang terletak di Desa Cempaga, Bangli, memiliki banyak keunikan. Selain letaknya yang strategis, pada pintu masuk pura tidak
menggunakan Candi Bentar seperti pada Pura Kahyangan Jagat umumnya.
Pintu masuk Pura Kehen memang agak berbeda, yakni menggunakan Candi Kurung. Di samping itu, keberadaan Bale Kulkul pada batang pohon Beringin turut memberi warna lain bagi Pura Kehen yang menjadi salah satu objek pariwisata unggulan Kota Bangli.
Meski telah ditemukan tiga prasasti tentang Pura Kehen, namun belum dapat dipastikan kapan sejatinya pura tersebut didirikan, dan apa yang menjadi asal-usul nama Kehen itu sendiri. Berdasarkan prasasti
ketiga yang berangka tahun 1204 Masehi disebutkan beberapa pura yang mempunyai hubungan kesatuan meliputi Pura Hyang Hatu, Hyang Kedaton, Hyang Daha Bangli, Hyang Pande, Hyang Wukir, Hyang Tegal, Hyang Waringin, Hyang Pahumbukan, Hyang Buhitan, Hyang Peken Lor, Hyang Peken Kidul dan Hyang Kehen.
Kehen sendiri diperkirakan berasal dari kata keren (tempat api), bila dihubungkan dengan prasasti pertama yang berbahasa Sansekerta– namun tidak berangka tahun—di mana di dalamnya menyebutkan kata-kata Hyang Api, Hyang Karinama, Hyang Tanda serta nama-nama biksu.
Jro Pasek Pura Kehen sebagai salah satu Dangka di Pura Kehen mengaku belum begitu banyak mengetahui terkait sejarah Pura Kehen, terlebih Jro Pasek yang masih berusia 23 tahun ini baru satu setengah tahun menjadi Jero Mangku di Pura Kehen. Meski belum mengetahui terkait sejarah Pura Kehen, namun keunikan atau kejadian mistis yang pernah terjadi di Kehen pernah didengarnya dari cerita orangtua.
Seperti halnya munculnya ula (ular) duwe pada tahun 1960 pagi, saat itu masyarakat setempat yang baru saja selesai menyapu di jaba pura menyaksikan secara langsung munculnya ular duwe tersebut.
Selain itu, masyarakat setempat sangat percaya jika patahnya pohon beringin yang terdapat di pura sebagai pertanda grubug (musibah). Hal tersebut disimpulkan dari kejadian-kejadian yang pernah terjadi secara turun temurun.
Tidak hanya itu, letak bagian yang patah juga diyakini sebagai pertanda musibah tersebut akan melanda orang tertentu. Misalnya pada saat raja Bangli meninggal dunia, dahan pohon beringin yang letaknya di Kaja Kangin (Utara-Timur) patah. Kemudian jika ada pendeta yang meninggal, maka dahan pohon beringin sebelah Kaja Kauh (Barat Daya) patah. Sedangkan jika bagian yang patah letaknya Kelod Kangin (Timur Lau) dan Kelod Kauh (Tenggara) maka diyakini akan ada musibah yang menimpa masyarakat.
Terkait upacara, karya di Pura Kehen Bangli berlangsung setiap enam bulan sekali tepatnya pada Hari Raya Pagerwesi yakni setiap Buda Kliwon Wuku Sinta. Namun, upacara besarnya yaitu Ngusaba Dewa atau biasa disebut Karya Agung Bhatara Turun Kabeh berlangsung setiap tiga tahun sekali, tepatnya Purnama Kalima, Saniscara Pon Wuku Sinta. Selain itu, upacara kecil seperti Saraswati, Ulian Sugimanik, Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon serta Buda Kliwon juga dilangsungkan di Pura Kehen.
Sebagai Pura Kahyangan Jagat, setiap upacara yang dilaksanakan di Pura Kehen, desa yang tergabung dalam Gebog (tatanan masyarakat) Domas (800) dan Bebanuan Pura Kehen memiliki peran masing-masing, mulai dari persiapan hingga pelaksanaan. Dalam hal wewangunan
misalnya, Banjar Kawan bertanggung jawab untuk membangun warung matanding, Banjar Tegal membuat Penyawang, Sanggar Tawang Tutuan, Bale Gading dan Bale Timbang. Banjar Pekuwon membangun warung pamuspaan, Banjar Pule membangun warung ilen-ilen, Banjar
Blungbang membangun warung mejahitan. Untuk Banjar Gunaksa dan Sidembunut bertugas membangun linggih bhatara Perampean, Banjar Kubu membangun linggih bhatara Melasti, tutuan, panggungan dan
pawedaan. Banjar Geria membangun sanggar agung peselang, sanggar agung pemalik sumpahan. Banjar Bebalang membangung Bale Perayungan dan Banjar Nyalian membangun warung peratengan.
Pembagian tugas tersebut dilakukan berdasarkan dresta dan sukat yang telah dilaksankan dari tahun-ketahun dan tidak akan pernah diubah atau ditukar-tukar. Selain sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tugas masing-masing, juga memunculkan semangat kebersamaan
dan saling memiliki terhadap karya yang berlangsung di Pura Kehen.
Pemangku di Pura Kehen berjumlah 33 orang yang terbagi atas dua golongan, yakni Dangka dan Pemaksan. Dangka terdiri dari 16 orang pemangku yang bertugas sebagai pangempon khusus perampean atau pelinggih-pelinggih di jeroan. Sedangkan Pemaksan yang terdiri dari 17 orang bertugas sebagai pembantu Dangka. N deni

Selasa, 08 Desember 2009

Pura Penataran Agung Ped






Di sebuah desa, persisnya di Desa Ped, Sampalan, Nusa Penida, ada sebuah pura yang sangat terkenal di seluruh pelosok Bali. Pura Penataran Agung Ped nama tempat suci itu. Berada sekitar 50 meter sebelah selatan bibir pantai lautan Selat Nusa. Karena pengaruhnya yang sangat luas yakni seluruh pelosok Bali, Pura Penataran Agung Ped disepakati sebagai Pura Kahyangan Jagat. Pura ini selalu dipadati pemedek untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, kerahayuan, dan ketenangan. Hingga saat ini, pura ini sangat terkenal sebagai salah satu objek wisata spiritual yang paling diminati.

Pada awalnya, informasi tentang keberadaan Pura Pentaran Agung Ped sangat simpang-siur. Sumber-sumber informasi tentang sejarah pura itu sangat minim, sehingga menimbulkan perdebatan yang lama. Kelompok (Puri Klungkung, Puri Gelgel dan Mangku Rumodja — Mangku Lingsir) menyebutkan pura itu bernama Pura Pentaran Ped. Yang lainnya, khususnya para balian di Bali, menyebut Pura Dalem Ped.

Seorang penekun spiritual dan penulis buku asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma dalam tulisannya tentang ”Selayang Pandang Pura Ped” beranggapan bahwa kedua sebutan dari dua versi yang berbeda itu benar adanya. Menurutnya, yang dimaksudkan adalah Pura Dalem Penataran Ped. Hanya, satu pihak menonjolkan penatarannya. Satu pihak lainnya lebih menonjolkan dalemnya.

Selain itu, beberapa petunjuk yang menyebutkan pura itu pada awalnya bernama Pura Dalem. Dalam buku ”Sejarah Nusa dan Sejarah Pura Dalem Ped” yang ditulis Drs. Wayan Putera Prata menyebutkan Pura Dalem Ped awalnya bernama Pura Dalem Nusa. Penggantian nama itu dilakukan tokoh Puri Klungkung pada zaman I Dewa Agung. Penggantian nama itu setelah Ida Pedanda Abiansemal bersama pepatih dan pengikutnya secara beriringan (mapeed) datang ke Nusa dengan maksud menyaksikan langsung kebenaran informasi atas keberadaan tiga tapel yang sakti di Pura Dalem Nusa.

Saking saktinya, tapel-tapel itu bahkan mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik yang diderita manusia maupun tumbuh-tumbuhan. Sebelumnya, Ida Pedanda Abiansemal juga sempat kehilangan tiga buah tapel. Ternyata, begitu menyaksikan tiga tapel yang ada di Pura Dalem Nusa itu adalah tiga tapel yang sempat menghilang dari kediamannya. Namun, Ida Pedanda tidak mengambil kembali tapel-tapel itu dengan catatan warga Nusa menjaga dengan baik dan secara terus-menerus melakukan upacara-upacara sebagaimana mestinya.

Kesaktian tiga tapel itu bukan saja masuk ke telinga Ida Pedanda, tetapi ke seluruh pelosok Bali. Termasuk, warga Subak Sampalan yang saat itu menghadapi serangan hama tanaman seperti tikus, walang sangit dan lainnya. Ketika mendengar kesaktian tiga tapel itu, seorang klian subak diutus untuk menyaksikan tapel tersebut di Pura Dalem Nusa. Sesampainya di sana, klian subak memohon anugerah agar Subak Sampalan terhindar dari berbagai penyakit yang menyerang tanaman mereka. Permohonan itu terkabul. Tak lama berselang, penyakit tanaman itu pergi jauh dari Subak Sampalan. Hingga akhirnya warga subak bisa menikmati hasil tanaman seperti padi, palawija dan lainnya.

Sesuai kaulnya, warga kemudian menggelar upacara mapeed. Langkah itu diikuti subak-subak lain di sekitar Sampalan. Kabar tentang pelaksanaan upacara mapeed itu terdengar hingga seluruh pelosok Nusa. Sejak saat itulah I Dewa Agung Klungkung mengganti nama Pura Dalem Nusa dengan Pura Dalem Peed (Ped).

Meski demikian, hal itu seolah-olah terbantahkan. Karena seorang tokoh masyarakat Desa Ped, Wayan Sukasta, secara tegas menyatakan bahwa nama sebenarnya dari pura tersebut adalah Pura Penataran Agung Ped. Terbukti dari kepercayaan warga-warga sekitar saat ini. Walaupun ada yang menyebutkan pura itu dengan sebutan Pura Dalem, yang dimaksud bukanlah Pura Dalem yang merupakan bagian dari Tri Kahyangan (Puseh, Dalem dan Bale Agung). Melainkan Dalem untuk sebutan Raja yang berkuasa di Nusa Penida pada zaman itu. ”Dalem atau Raja dimaksud adalah penguasa sakti Ratu Gede Nusa atau Ratu Gede Mecaling,” katanya.

Ada lima lokasi pura yang bersatu pada areal Pura Penataran Agung Ped. Pura Segara, sebagai tempat berstananya Batara Baruna, terletak pada bagian paling utara dekat dengan bibir pantai lautan Selat Nusa. Beberapa meter mengarah ke selatan ada Pura Taman dengan kolam mengitari pelinggih yang ada di dalamnya. Pura ini berfungsi sebagai tempat penyucian.
Mengarah ke baratnya lagi, ada Pura utama yakni Penataran Ratu Gede Mecaling sebagai simbol kesaktian penguasa Nusa pada zamannya. Di sebelah timurnya ada lagi pelebaan Ratu Mas. Terakhir di jaba tengah ada Bale Agung yang merupakan linggih Batara-batara pada waktu ngusaba.Masing-masing pura dilengkapi pelinggih, bale perantenan dan bangunan-bangunan lain sesuai fungsi pura masing-masing. Selain itu, di posisi jaba ada sebuah wantilan yang sudah berbentuk bangunan balai banjar model daerah Badung yang biasa dipergunakan untuk pertunjukan kesenian.

Seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped sudah mengalami perbaikan atau pemugaran. Kecuali benda-benda yang dikeramatkan. Contohnya, dua arca yakni Arca Ratu Gede Mecaling yang ada di Pura Ratu Gede dan Arca Ratu Mas yang ada di Pelebaan Ratu Mas. Kedua arca itu tidak ada yang berani menyentuhnya. Begitu juga bangunan-bangunan keramat lainnya. Kalaupun ada upaya untuk memperbaiki, hal itu dilakukan dengan membuat bangunan serupa di sebelah bangunan yang dikeramatkan tersebut.

Adanya perbaikan-perbaikan yang secara terus-menerus itu, membuat hampir seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped terbentuk dengan plesteran-plesteran permanen dari semen dan kapur. Termasuk asagan yang lazimnya terbuat dari bambu yang bersifat darurat, tetapi dibuat permanen dengan plesteran semen. Paling tidak, hal itu telah memunculkan kesan kaku bagi pura yang diempon 18 desa pakraman tersebut. Pengemponnya mulai Desa Kutampi ke barat. Adanya sejumlah bangunan-bangunan pura yang dikeramatkan, berdampak pada lingkungan pura. Atmosfer keramat diyakini sudah tercipta sejak awal keberadaan pura tersebut

Sabtu, 05 Desember 2009

Pura Batu Madeg



Pura Batu Madeg adalah tempat suci umat Hindu yang terletak di utara Pura Penataran Agung Besakih. Disebut Pura Batu Madeg karena di pura tersebut terdapat sebuah batu yang tegak. Batu madeg dalam bahasa Bali diartikan batu tegak berdiri. Batu Madeg dalam ilmu arkeologi disebut menhir, pada zaman kebudayaan megalitikum.

Batu Madeg ini simbol pemujaan Batara Ida Ratu Sakti Watu Madeg manifestasi Ida Batara Wisnu dalam sistem pemujaan Paksa Siwa Pasu Pata. Ketika sistem pemujaan itu berubah menjadi Siwa Sidhanta, Batu Madeg itu diletakkan di dalam sebuah Meru Tumpang Sebelas. Meru Tumpang Sebelas dengan Batu Madeg di dalamnya inilah pelinggih yang utama di Pura Batu Madeg tersebut. Pura ini tergolong Pura Catur Dala berposisi di arah utara, simbol stana Dewa Wisnu dalam konsep pangider-ider Siwa Sidhanta Paksa.

Yang patut kita perhatikan adalah Pelinggih Meru Tumpang Sebelas dengan Batu Madeg di dalamnya. Menhir sebagai peninggalan kebudayaan Hindu zaman megalitikum sebagai simbol pemujaan Batara Wisnu itu tetap dipergunakan, meskipun sistem pemujaan itu sudah berubah. Meskipun yang dominan sistem Siwa Sidhanta Paksa, tetapi Paksa Siwa Pasupata tetap juga dilanjutkan, bahkan dipadukan dalam satu tempat pemujaan. Ini artinya perbedaan paksa atau sekte keagamaan itu tidak menjadi persoalan di antara kelompok sosial keagamaan Hindu tersebut. Apalagi perbedaan kedua paksa keagamaan Hindu saling melengkapi.

Siwa Pasupata lebih menekankan pada arah beragama ke dalam diri atau Niwrti Marga. Sedangkan Siwa Sidhanta suatu paksa keagamaan Hindu yang juga sekte Siwa lebih menekankan pada arah beragama keluar diri atau Prawrti Marga. Kedua arah beragama ini memang berbeda tetapi saling melengkapi. Demikian bijaksananya leluhur umat Hindu di Bali dalam mengelola perbedaan. Tidak terjadi satu sekte merendahkan sekte yang lainnya. Pada zaman modern dewasa ini hal itu patut kita renungkan dalam mengelola perbedaan. Lebih-lebih ke depan keadaan zaman akan semakin heterogen dalam segala tatanan kehidupan, termasuk dalam kehidupan beragama. Apalagi agama Hindu menyediakan banyak jalan untuk mengembangkan diri dalam bidang spiritual menurut kitab suci Veda. Terjadinya berbagai perbedaan penampilan luar dari sistem beragama Hindu bukan sebagai suatu pertentangan. Tetapi itulah keindahan dari Hinduisme.

Pura Batu Madeg sesungguhnya menghadap ke barat. Tetapi umat pada umumnya merasakan pura itu menghadap ke selatan. Di Pura Batu Madeg ini terdapat lima buah pelinggih Meru. Di sisi timur areal jeroan pura, berjejer dari utara ke selatan. Dari utara ada dua Meru Tumpang Sembilan. Yang paling utara merupakan Pelinggih Ida Manik Angkeran. Di selatannya Pelinggih Ida Ratu Mas Buncing. Di selatan pelinggih Ida Ratu Mas Buncing adalah Meru Tumpang Sebelas yang di dalamnya ada Batu Madeg. Meru inilah sebagai pelinggih yang paling utama sebagai stana pemujaan Batara Sakti Batu Madeg sebagai manifestasi Batara Wisnu.

Di selatannya ada Pelinggih Meru Tumpang Sebelas juga sebagai Pelinggih Ida Batara Bagus Bebotoh. Di pelinggih ini umat memuja Tuhan agar dapat mengalihkan sifat bebotoh berjudi menjadi bebotoh bekerja untuk tujuan yang mulia. Umat jangan salah tafsir Pelinggih Ida Batara Bebotoh itu bukan tempat pemujaan umat agar menang berjudi. Sebab, ajaran Veda sangat melarang umatnya berjudi. Meru Tumpang Sebelas yang paling selatan sebagai Pelinggih Ida Ratu Manik Bungkah. Pelinggih ini mungkin ada kaitannya dengan fungsi Tuhan sebagai Batara Wisnu untuk melindungi kesuburan tanah.

Sebab, hanya air yang dapat menembus tanahlah yang akan dapat menyuburkan tanah. Hal ini dimaksudkan agar umat jangan menutup lahan sebagai daerah resapan. Kalau lahan resapan tertutup maka air akan langsung terbuang ke laut. Ini artinya memuja Batara Manik Bungkah sebagai media spiritual untuk memotivasi umat agar senantiasa melindungi daerah resapan air agar tanah dengan akar-akar pepohonannya dapat berfungsi bagaikan waduk menyimpan air sepanjang masa.

Keberadaan tanah yang penuh dengan pepohonan itu akan dapat menyerap air dan pohon juga dapat membersihkan pencemaran udara dan juga air. Memuja Tuhan sebagai Batara Wisnu adalah memotivasi diri umat agar senantiasa melindungi keberadaan air dan pepohonan. Sebab, keberadaan alam itulah yang akan membuat hidup kita menjadi lestari.

Di depan Meru Tumpang Sebelas, pelinggih pemujaan Batara Sakti Batu Madeg terdapat Balai Pesamuan yaitu pelinggih yang berbentuk segi empat dengan enam belas tiang berjejer dua baris. Jajar baris di luarnya disebut jajar dan yang di dalamnya disebut beti. Balai Pesamuan inilah sebagai media untuk turun ke dunia berkumpulnya semua sidhinya Batara Wisnu sebagai pemelihara dan pelindung ciptaan Tuhan. Balai Pesamuan itu akan sangat kelihatan fungsinya terutama saat ada pujawali dan upacara yadnya yang besar. Di sebelah kanan Balai Pesamuan terdapat Balai Sedahan Ngerurah terdapat sebuah Lingga yang wujudnya sangat sempurna sebagai media pemujaan Dewa Siwa dalam budaya megalitikum. Di sebelah Meru Pelinggih Ratu Bagus Bebotoh terdapat Pelinggih Pepelik stana Batara Hidung Lantang sebutan masyarakat pada Batara Gana. Upacara Piodalan di pura ini setiap enam bulan wuku yaitu setiap Soma Umanis Wuku Tolu.

Di pintu atau pemedal jeroan pura terdapat pelinggih yang disebut Balai Pegat bertiang delapan dengan dua balai yang terpisah. Balai Pegat ini fungsinya untuk nunas Tirtha Pangelukatan sebagai simbol umat berkonsentrasi memusatkan pikirannya pada Ida Batara Sakti Batu Madeg dan untuk sementara melupakan hal-hal yang bersifat duniawi.

Rabu, 04 November 2009

Calonarang









Dramatari ritual magis yang melakonkan kisah-kisah yang berkaitan dengan ilmu sihir, ilmu hitam maupun ilmu putih, dikenal denganPangiwa / Pangleyakan dan Panengen. Lakon-lakon yang ditampilkan pada umumnya berakar dari cerita Calonarang, sebuah cerita semi sejarah dari zaman pemerintahan raja Airlangga di Kahuripan (Jawa timur) pada abad ke IX. Cerita lain yang juga sering ditampilkan dalam drama tari ini adalah cerita Basur, sebuah cerita rakyat yang amat populer dikalangan masyarakat Bali. Karena pada beberapa bagian dari pertunjukannya menampilkan adegan adu kekuatan dan kekebalan (memperagakan adegan kematian bangke-bangkean, menusuk rangda dengan senjata tajam secara bebas) maka Calonarang sering dianggap sebagai pertunjukan adu kekebalan (batin).


Kamis, 22 Oktober 2009

Ogoh-ogoh

















Ogoh-ogoh adalah karya seni patung dalam kebudayaan bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu dharma, Bhuta Kalamerepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan.

Dalam perwujudan patung yang dimaksud, Bhuta Kala digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan; biasanya dalam wujud Raksasa.

Selain wujud Rakshasa, Ogoh-ogoh sering pula digambarkan dalam wujud makhluk-makhluk yang hidup di Mayapada, Surga dan Naraka, seperti naga, gajah, garuda, Widyadari, bahkan dewa. Dalam perkembangannya, ada yang dibuat menyerupai orang-orang terkenal, seperti para pemimpin dunia, artis atau tokoh agama bahkan penjahat. Terkait hal ini, ada pula yang berbau politik atau SARA walaupun sebetulnya hal ini menyimpang dari prinsip dasar Ogoh-ogoh. Contohnya Ogoh-ogoh yang menggambarkan seorang teroris.

Dalam fungsi utamanya, Ogoh-ogoh sebagai representasi Bhuta Kala, dibuat menjelang Hari Nyepi dan diarak beramai-ramai keliling desa pada senja hari Pangrupukan, sehari sebelum Hari Nyepi.

Menurut para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma, proses ini melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan Bhuana Agung (alam raya) dan Bhuana Alit (diri manusia). Dalam pandangan Tattwa (filsafat), kekuatan ini dapat mengantarkan makhluk hidup, khususnya manusia dan seluruh dunia menuju kebahagiaan atau kehancuran. Semua ini tergantung pada niat luhur manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam menjaga dirinya sendiri dan seisi dunia.

www.fadlie.web.id
 
Agunk Bangli menerima pembuatan website. hubungi lewat email : rama_agunk@yahoo.com