Puri Semarapura Berorientasi ke Gerbang Majapahit
Kini, sudah 101 tahun peristiwa Puputan Klungkung terjadi. Tepatnya pada 28 April 1908 pagi, Raja Klungkung Dewa Agung Jambe (Dewa Agung Putera IV), keluar puri dengan sebuah tombak diiringi para pembesar kerajaan, keluarga, wanita-wanita dan anak-anak. Mereka bergerak menuju pasukan Belanda yang sudah berada di sekitar 100 meter di depan puri.
Raja Klungkung kemudian menancapkan keris pusakanya di tanah dengan keyakinan agar segera timbul suatu lubang besar yang akan menelan semua pasukan Belanda. Tetapi, saat itulah terdengar letusan peluru meriam menghantam lutut raja Klungkung. Dengan gagah perkasa Raja Klungkung bangkit lagi, tetapi tembakan terus menghujaninya sehingga beliau tewas.
Melihat keadaan itu, para pembesar Kerajaan Klungkung yang ada beserta para wanita dan anak-anak segera melakukan serangan dengan tombak. Namun, letusan-letusan senjata artileri dan infanteri Belanda merobohkan mereka satu-persatu. Setelah peristiwa puputan itu terjadi, keluarga Puri Klungkung yang masih tersisa diasingkan ke Pulau Lombok.
Dalam peristiwa ini, nampaknya Belanda berusaha bersikap hati-hati, agar tragedi seperti Puputan Badung 1906 tidak terulang kembali. Meskipun sebagian besar bangunan Puri Kerajaan Klungkung dirobohkan, tetapi Kori Agung puri masih disisakan, yang menjadi simbol kebesaran Puri Semarapura Klungkung.
Mungkin Belanda sudah tahu, bahwa Kerajaan Klungkung adalah sisa bagian terakhir dari Kerajaan Majapahit, sehingga ada bagian yang harus disisakan sebagai bukti sejarah. Karena itu, Kori Agung ini sangat berarti bagi sejarah kebudayaan di Bali, untuk merangkai hubungan Kerajaan Klungkung (Bali) dengan Kerajaan Majapahit.
Orientasi Majapahit
Menurut sebuah sumber, Kori Agung Puri Semarapura ini dibuat oleh I Gusti Ibul dan I Gusti Ungu, yang hidup pada tahun 1839. Secara fisik, bentuk Kori Agung Puri Semarapura berwujud gelung (mahkota), dengan pintu induk di tengah dan dua pintu penunjang di kiri-kanan pintu induk. Uniknya, Kori Agung ini dilengkapi hiasan patung-patung mirip serdadu Belanda, yang diletakkan di depan gerbang seperti layaknya "patung penjaga". Hiasan seperti patung serdadu Belanda juga terdapat di badan arsitektural candi.
Arah keluar Kori Agung Puri Semarapura nampaknya tidak lazim untuk di daerah Bali. Sebab, pada umumnya pintu-pintu gerbang puri di Bali menghadap ke arah barat (kauh) atau ke arah laut (kelod), yang memiliki tata nilai provan. Hulu puri biasanya berorientasi ke arah gunung atau ke arah matahari terbit, yang memiliki tata nilai suci. Di sinilah terjadi pengecualian arah keluar Kori Agung Puri Semarapura Klungkung, sebab arah keluar Kori Agung ini menghadap ke arah gunung (utara).
Menurut informasi, filosofi Kori Agung Puri Kerajaan Klungkung yang menghadap ke arah gunung (utara) ini dikaitkan dengan sejarah pertalian hubungan Kerajaan Klungkung dengan Kerajaan Majapahit. Berdasarkan filosofi ini, maka arah pintu gerbang Puri Semarapura ini dibuat mengikuti arah pintu gerbang Keraton Majapahit yang menghadap ke arah utara.
Di Bali, hanya Kerajaan Klungkung yang memiliki garis hubungan sejarah langsung dengan Kerajaan Majapahit. Sehingga, ada keputusan bahwa hanya Puri Klungkung yang boleh membuat pintu gerbang menghadap ke arah utara seperti orientasi gerbang Keraton Majapahit, walaupun di wilayah Bali selatan arah utara itu identik dengan "arah ke gunung" yang memiliki nilai suci.
Namun berdasarkan data-data kearkeologian, Keraton Majapahit sebenarnya memiliki dua pintu gerbang, yaitu pintu gerbang barat yang disebut Pura Waktra dan pintu gerbang utara yang memiliki pintu besi berukir. Bisa jadi pintu gerbang utara yang dilengkapi pintu besi berukir merupakan gerbang utama, sedangkan pintu gerbang barat merupakan pintu gerbang tambahan, yang memiliki akses ke sungai dan ke laut, sebagai lalu-lintas air.
Pelanjut Majapahit
Dalam perjalanan sejarah kebudayaan di Bali, Kerajaan Klungkung merupakan kerajaan yang menduduki posisi tertinggi di antara kerajaan-kerajaan lain di Bali. Hal ini terkait dengan pertalian sejarahnya dengan Kerajaan Majapahit. Sedangkan kerajaan-kerajaan lain di Bali mulai berkembang ketika pusat pemerintahan kerajaan di Bali ada di Gelgel, ketika Dalem Sagening memegang kendali pemerintahan pada 1502.
Keberadaan Kerajaan Klungkung merupakan rangkaian dari sejarah berhasilnya Majapahit mengalahkan Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten pada 1343, pada masa Bali kuna. Sejak itulah Bali otomatis berada di bawah kekuasaan Majapahit. Setelah Sri Kresna Kepakisan ditunjuk menjadi Adipati di Bali pada 1352, maka mulailah trah Ksatria Dalem menduduki posisi penting di Bali yang berpusat di Samprangan Gianyar (Lingarsapura).
Dalam perkembangannya kemudian, di masa pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir (1380-1460), pusat kerajaan dipindahkan ke Gelgel (Swecapura). Tetapi ketika Bali mengalami zaman keemasan di masa pemerintahan Dalem Waturenggong bertahta di Gelgel (1460-1490), justru Kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan pada 1478 Masehi. Ketika Kerajaan Majapahit sudah dianggap runtuh, Kerajaan Gelgel menyatakan diri sebagai pelanjut kebesaran Majapahit di Bali.
Tetapi trah ksatria Dalem di Kerajaan Gelgel harus berakhir. Setelah terjadi pemberontakan Patih Agung Maruti pada 1650, pusat pemerintahan Kerajaan Gelgel akhirnya dipindahkan ke Klungkung, karena kewibawaan Gelgel sudah dianggap tercemar. Raja pertama Kerajaan Klungkung adalah I Dewa Agung Jambe yang dinobatkan pada 1710.
Setelah pemerintahan kolonial Belanda masuk ke Bali, dinasti Ksatria Dalem di Kerajaan Klungkung akhirnya harus berakhir pada 28 April 1908, yang tersisa hanya gerbang puri. Berbeda dengan Majapahit, bata-bata bekas bangunan peninggalan Majapahit justru dirusak, dicari dan dihancurkan penduduk untuk dijadikan bahan semen merah, lalu dijual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar