Agunk Bangli menerima pembuatan website. hubungi lewat email : rama_agunk@yahoo.com

Senin, 06 Juli 2009

Air Terjun Dusun Kuning (Dusun Kuning Waterfall)





Kabupaten/Kota : Bangli
Di bagian selatan sekitar 6 km dari kota Bangli, di Desa Taman Bali terdapat sebuah air terjun.
Karena letaknya di Desa Dusun Kuning maka dinamakan air terjun Dusun Kuning.
Air terjun ini berada di ketinggian 25 meter diatas permukaan Sungai Melangit yang mengalir ke arah selatan. Lokasi ini dapat dicapai dengan beragam jenis transportasi dan dari desa kecil ini dapat ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 500 meter. Daerah yang dingin dengan udara yang sejuk dikombinasi dengan hijaunya dedaunan meningkatkan pesona air terjun alami. Dan tidak jauh dari tempat ini terdapat hutan yang dihuni oleh ratusan kera.

PURA ULUWATU



Sejarah
Bongkahan batu karang di lokasi pura tersebut menurut legenda merupakan metamorphose dari Dewi Danu dan Dewi Air. Lingkungan Pura Luhur Uluwatu diperkirakan didirikan sekitar abad ke 11, sejaman dengan Empu Kuturan mendirikan Pelinggih lingkungan Pura Besakih. Tempat ini dipilih oleh Pendeta Danghyang Nirarta untuk mencapai moksa (menyatu dengan Sang Hyang Pencipta). Semak-semak di sekitar lingkungan Pura dijaga oleh kera-kera jinak yang dilindungi oleh masyarakat.

Lokasi
Uluwatu terletak di daerah perbukitan batu karang di sebelah selatan Pulau Bali. Termasuk wilayah Desa Pecatu, Kecamatan Kuta, Kabuaten Badung. Untuk mencapai Uluwatu dari kota Denpasar berjarak kurang lebih 30 km ke arah Selatan melalui kawasan pariwisata Kuta, Badara Ngurah Rai Tuban dan Desa Jimbaran. Tempat ini sangat baik untuk berolahraga papan selancar sepanjang tahun. Lingkungan di sekitar ULuwatu sangat kering sehingga air sangat sulit didapatkan.

Fasilitas
Di dekat lingkungan Pura Luhur Uluwatu tersedia tempat parkir yang cukup luas. Kios-kios souvenir serta warung-warung minuman dan makanan kecil juga tersedia di sekitar tempat itu. Toilet untuk umum terdapat di pojok tenggara tempat parkir.

TAMAN UJUNG, TEMPAT PERISTIRAHATAN RAJA KARANGASEM.


Taman Ujung mulai dibangun pada tahun 1919 dan diresmikan penggunaannya pada tahun 1921. Taman ini dibangun oleh raja Karangsem yang digunakan sebagai tempat peristirahatan atau untuk menjamu tamu-tamu penting seperti raja-raja atau Kepala Pemerintahan Negara Asing yang berkunjung ke kerajaan Karangasem. Di taman ini terdapat tiga buah kolam besar dan luas, di tengah kolam paling utara terdapat bangunan utama yang dihubungkan oleh dua buah jembatan. Di sebelah kolam terdapat taman dan pot bunga serta patung-patung. Bentuk bangunan sangat megah dan khas karena perpaduan antara arsitektur Eropah dan Bali.

Di sebelah Barat kolam di tempat yang agak tinggi terdapat sebuah bangunan yang berbentuk bundar disebut "Bale Bengong" tempat untuk menikmati keindahan taman dan sekitarnya. Untuk mencapai puncak perbukitan sebelah Barat Taman dibuat undak-undakan yang tinggi dan lebar. Di sebelah Utara taman di atas bukit terdapat patung Warak yang besar di bawahnya patung banteng dan dari mulut kedua patung ini air memancur keluar menuju kolam. Dari puncak bukit ini kita dapat menyaksikan pemandangan alam yang betul-betul indah dan mengagumkan. Jauh di sebelah Timur Laut terlihat bukit Bisbis yang hutannya subur menghijau, di arah Selatan terlihat laut luas membentang dan di sekitar taman terlihat petak-petak sawah menghijau perpaduan alam pegunungan dan alam laut inilah yang merupakan daya tarik taman ini bagi para wisatawan.

Sayang peninggalan budaya yang megah ini telah hancur akibat gempa bumi yang terjadi pada waktu Gunung Agung meletus, terutama sekali akibat gempa yang terjadi tahun 1979. Meskipun kini tinggal puing-puing saja, tapi kesan megah di masa lalu masih tampak dan keindahan panoramanya tetap mengagumkan.

Lokasi

Taman Ujung terletak dekat pantai kawasan Ujung, Desa Tumbu, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem. Jaraknya 5 Km dari kota Amlapura ke arah Selatan, dan kira-kira 85 Km dari kota Denpasar.
Dan obyek ini mudah dicapai dengan kendaraan roda empat.

Jumat, 03 Juli 2009

Puri Agung Nyalian

Babad Bangli Nyalian

Tersebut empat para Hyang bersaudara bernama Sanghyang Angsanabra (Sekar Angsana) di Gelgel, Sanghyang Subali di Gunung Tolangkir, Sanghyang Aji Rembat di Pura Kentel Gumi. Sanghyang Mas Kuning di Giri Lor Abang. Sanghyang Subali pergi ke jurang Melangit menciptakan air suci yang harum (Tirta Harum) pada hari Selasa, Kliwon, Julungwangi, purnama bulan keempat.

Kemudian Sanghyang Subali mendirikan taman yang indah di sebelah barat laut Tirta Arum, diberi nama Taman Bali. Kemudian Sanghyang Subali menyerahkan Tirta Arum dari Taman itu kepada Sanghyang Aji Rembat. Sanghyang Subali moksa, menghadap Sanghyang Wisnu Bhuana memohon seorang anak, diberi nama Sang Angga Tirta. Anak tersebut diletakkan pada saluran air (pancuran) di Tirta Arum. Sanghyang Aji Rembat memungut bayi tersebut. Dan menerima wahyu, (sabda angkasa) dari Sanghyang Subali, bahwa anak itu adalah anugrah Dewa Wisnu bernama Angga Tirta dan kemudian agar diberi nama Sang Anom. Anak tersebut diupacarai oleh Sanghyang Aji Rembat dan berdiam di pura Agung Guliang.

Tersebut bahwa Sanghyang Angsana di Gelgel mempunyai seorang putri bernama Dewa Ayu Mas Dalem. Sering terserang penyakit, kemudian sembuh berkat pengobatan Sanghyang Aji Rembat di asramnya. Terjadi hubungan gelap (seperti suami istri) antara Sang Anom dengan Dewa Ayu Mas Dalem. Dewa Ayu Mas Dalem diantar ke Gelgel, Segera Sanghyang Sekar Angsana mengusut putrinya karena menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Sang putri mengaku terus terang berkat hubungannya dengan Sang Anom. Sanghyang Sekar Angsana mengirim pasukan untuk menyerang ke Pura Agung Guliang, menangkap Sang Anom namun gagal, Sang Anom tidak dijumpai. Sang Anom melarikan diri ke Alas Jarak Bang kemudian desa itu disebut Jagat Bali.

Pengejaran terus dilakukan dan Sang Anom tertangkap dan dibawa ke Gelgel. Sanghyang Aji Rembat amat kecewa, melaporkan hal itu secara gaib kepada Sanghyang Sekar Angsana di Gelgel perihal riwayat Sang Anom serta pantas menjadi suami Dewa Ayu Mas Dalem. Pernikahan pun segera dilakukan. Kembali ke Pura Agung Guliang.

Kemudian lahir seorang putra diberi nama Korda Anom Oka Den Bancingah. Korda Anom Oka Den Bancingah berputra I Dewa Garba Jata. I Dewa Garba Jata berputra I Dewa Ngurah Den Bancingah. I Dewa Ngurah Den Bancingah menikah dengan putri Dalem (?) di Dasar Gelgel berputra Cokorda Den Bancingah, Cokorda Den Bancingah berputra I Dewa Pamecutan; I Dewa Pulasari, I Dewa Batanwani, I Dewa Tangeb, I Dewa Mundung, I Dewa Beranjingan, I Dewa Auman. I Dewa Pamecutan berputra I Dewa Gde Pering pindah ke Nyalian, I Dewa Kaler di Taman Bali, I Dewa Pindi pindah ke Gagahan, I Dewa Perasi di Gada, yang bungsu (= pingajeng) I Dewa Gde Ngurah bertahta di Taman Bali.

I Dewa Gde Pering memohon pada ayahnya untuk membawa Keris "Ki Lobar" ke Nyalian sebagai tanda kebesaran. Permohonannya itu dapat dikabulkan, segera dibawa ke Nyalian. Nyalian dan Taman Bali pun aman dan sentosa.

I Dewa Gde Ngurah penguasa Taman Bali mengirim utusan untuk membunuh I Gusti Paraupan di Bangli. Tetapi karena kesaktian I Gusti Paraupan, maka utusan itu menyampaikan niatnya terang-terangan. I Gusti Paraupan kembali memerintahkan untuk membunuh I Dewa Gde Ngurah, dengan catatan bila berhasil akan dijadikan penguasa di Taman Bali. Terjadi perkelahian antara I Dewa Gde Ngurah dengan kedua utusannya yang disuruh membunuh I Gusti Paraupan. Keduanya mati dan I Dewa Gde Ngurah menderita luka- luka. I Dewa Kaler putra I Dewa Gde Ngurah tidak membantunya. I Dewa Gde Ngurah dalam keadaan sakit karena luka-luka dirawat oleh para istri dan lain-lainnya. Pada saat-saat demikian salah seorang istri I Dewa Gde Ngurah berbuat serong (abamia) dengan I Dewa Kaler.

Diperintahkan untuk membunuh I Dewa Kaler dan istrinya yang serong itu. Namun tidak diijinkan oleh Dalem Gelgel. Hanya derajat kebangsawanannya diturunkan menjadi Pungakan, kemudian bernama Pungakan Bagus atau Pungakan Den Yeh, I Dewa Gde Ngurah meninggal dunia digantikan oleh putranya bernama I Dewa Gede Ngurah Anom Oka. Ia tahu sebab kematian ayahnya karena upaya I Gusti Paraupan. Maka bersama keluarga dan pemuka-pemuka serta rakyatnya mengadakan serangan balasan ke Bangli (I Gusti Paraupan).

Terjadi peperangan antara Bangli dengan Taman Bali yang dibantu oleh I Dewa Pering (=Nyalian). Bangli kalah, gugurnya I Gusti Paraupan, Ki Lurah Dawuh Waringin, Ki Lurah Dawuh Pamamoran, Maka I Dewa Perasi diangkat sebagai penguasa di Bangli dibantu/ didampingi oleh sanak keluarganya antara lain I Dewa Tangeb, I Dewa Batan Wani, I Dewa Pulasari. Lama kelamaan ganti berganti keturunan I Dewa Gde Perasi menjadi raja Bangli. Salah seorang raja bernama I Dewa Kompiang Perasi mempunyai seorang-anak wanita bernama Dewa Ayu Den Bancingah. Maka mengangkat menantu, putra raja Taman Bali, bernama I Dewa Gde Anom Rai. Raja Taman Bali I Dewa Gde Raka, kakak I Dewa Gede Anom Rai. Bangli dan Taman Bali aman sentosa.

I Dewa Gde Anom Rai dengan Dewa Ayu Den Bancingah berputra seorang wanita bernama Dewa Ayu Comel. I Dewa Gede Anom Rai mengambil istri lagi, dan amat terikat hati beliau kepadanya. I Dewa Gde Oka/ cucu I Dewa Gde Tangkeban dinikahkan dengan I Dewa Ayu Comel, menggantikan tahta di Bangli. Tetapi pernah berbuat serong (seperti suami istri) dengan ibu mertuanya. I Dewa Gde Anom Rai berusaha untuk membunuh Dewa Ayu Den Bancingah, tetapi gagal. Dan terbalik Dewa Ayu Den Bancingah kini berusaha untuk membunuh I Dewa Gede Anom Rai, berbagai siasat dilakukan, dan seorang petugas/ algojo bernama Ida Waneng Pati (brahmana Kemenuh) berhasil masuk ke peraduannya, tetapi tidak mempan senjatanya. Hanya senjata Dewa Ayu Den Bancingah yang sanggup mencabut nyawa I Dewa Gede Anom Rai.

Dukuh Suladri (turunan Sirarya Rembat) mempunyai anak dua orang wanita. Ki Dukuh kedatangan seorang laki-laki dari Majapahit anak Sri Aji Ayu Murub. Anak laki-laki tersebut diajak menetap di ashram Dukuh Suladri dan dikawinkan dengan putrinya yang sulung, putri yang kedua menikah dengan raja/ Dalem di Gelgel. Dalem memberikan iparnya (menantu Dukuh Suladri di Padukuhan) rakyat dua ratus orang, pada akhirnya mengurusi rakyat lima ratus orang. Putri Ki Dukuh menjadi istri Dalem mempunyai seorang anak wanita bernama I Dewa Ayu Den Bancingah kemudian bersuamikan anak dari Kanca di Padukuhan beribu putrinya Ki Dukuh, Mereka menetap di Gelgel di sebelah utara istana. Kemudian pindah ke Nyalian membawa Ki Lobar, karena di Gelgel terjadi perebutan kekuasaan oleh Anglurah Agung.

Terjadi perebutan kekuasaan di Gelgel oleh Anglurah Agung, Dalem mengungsi ke Guliang, dan wafat di sana. Seorang putranya pindah ke Singarsa dengan pengiring 150 orang, berkat kesetiaan Lurah Singarsa. Dari Singarsa (Sidemen) direncanakan perebutan kembali kerajaan Gelgel atas prakarsa bekas punggawa dari Gelgel (?) dengan Lurah Singarsa, minta bantuan ke Buleleng dan Badung, kemudian dilakukan pengepungan dari beberapa penjuru, terjadi peperangan sengit, Anglurah Agung mengalami kekalahan. I Dewa Den Bancingah dengan gelar I Dewa Gde Tangkeban tetap bertahta di Nyalian.

Dalem (raja) Smarajaya meminta kembali keris Ki Lobar. I Dewa Gde Tangkeban, mengadakan perundingan dengan I Dewa Gde Rai (Bangli) dan I Dewa Gede Oka (Taman Bali) , dikuatkan dengan sumpah setia mereka tidak akan mengembalikan Ki Lobar dengan catatan berani menanggung segala resiko. Dalem Smarajaya tetap menuntut keris itu agar dikembalikan. Namun I Dewa Gde Tangkeban tetap pada pendiriannya semula. Akhirnya terjadi peperangan antara Smarawijaya melawan Nyalian

Bangli dan Taman Bali tidak menepati perjanjian. I Dewa Gde Tangkeban mengalami kekalahan, Sebelum meninggal sempat mengutuk raja Taman Bali dan Bangli, dan memotong ujung keris (Ki Lobar), merestui putranya yang bernama I Dewa Gde Oka agar menyerang Taman Bali dan Bangli. Lalu I Dewa Gde Oka mengamuk membabibuta di puri Nyalian. Banyak jatuh korban. Akhirnya ia juga meninggal berkat Ida Bagus Made Gelgel, namun Ida Bagus Made Gelgel meninggal pula. Ki Sedahan Kasub yang berperang dalam istana, mengumpulkan mayat- mayat dan harta benda, kesudahannya juga mati terbunuh, Maka daerah I Dewa Gede Tangkeban mutlak ditaklukkan oleh Sri Aji Dalem di Smarajaya dengan bantuan Raja Karangasem dan Gianyar. Kutukan I Dewa Gde Tangkeban meresap di Bangli dan Tamanbali, akhirnya terjadi perang saudara.

Raja Bangli terbunuh oleh istrinya sendiri, Dewa Ayu Den Bancingah bertahta di Bangli I Dewa Gde Tangkeban, putra I Dewa Gde Oka (yang mengamuk di Nyalian) cucu I Dewa Gede Tangkeban demikian turun temurun. Lama kelamaan terjadi perlawanan dan Bangli (I Dewa Gde Oka Tangkeban) dengan Tamanbali (I Dewa Gde Oka) dibantu oleh Gianyar (I Dewa Manggis) pasukan Gianyar dipimpin oleh Cokorda di Mas. Pasukan Tamanbali kalah dengan gugurnya Cokorda Mas dan I Dewa Gede Oka raja Tamanbali. Dilanjutkan dengan susunan sila- sila keturunan I Dewa Gde Tangkeban yang masih hidup di desa-desa.

Raja Tamanbali yang telah wafat meninggalkan seorang putra bernama I Dewa Sukawati, dan bermukim di Tumuhun, berputra lima orang. Dilanjutkan dengan sila-sila keturunan. Riwayat I Dewa Putu Sekar, yang semula di Nusa Penida. Kemudian kembali menjadi kepercayaan raja Bangli (I Dewa Gede Tangkeban) ditempatkan di Susut, putra- putra yang di Nusa Penida I Dewa Gde Dauh dan I Dewa Gde Dangin kemudian menjadi kepercayaan raja Tabanan ditempatkan di desa Jelijih, lama kelamaan mendirikan Pura Aseman. Selanjutnya mempunyai keturunan. kemudian dalam peperangan Tabanan melawan Badung dan Mengwi I Dewa Gde Dangin gugur karena pihak Tabanan kalah, putra- putranya pindah ke Jembrana, I Dewa Gde Dauh tetap di Jelijih bersama anak-anaknya.



Kamis, 02 Juli 2009

MENELUSURI KAWITAN MAHA GOTRA TIRTA HARUM DAN PURI AGUNG SUSUT BANGLI



Puri Agung Susut Bangli

Puri Agung Susut terletak didesa susut bangli, masih merupakan keturunan Ksatria Taman Bali dan keturunan Kawitan Maha Gotra Titra Harum.

Disini penulis akan memberikan link untuk menelusuri kawitan Maha Gotra Tirta Harum.


Puri Agung Bangli dan Puri Agung Taman Bali

Singkat Babad Ksatria Taman Bali

Sejarah terbentuknya puri agung bangli dan puri agung taman bali sangat erat kaitannya dengan babad ksatria taman bali.

Tersebut bahwa Bhatara Subali bersaudara dengan Dalem Bhatara Sekar Angsana, Bhatara Subali berasrama di Tolangkir. Bhatara Sekar Angsana berasrama di Pura Dasar Gelgel, Ada lagi saudaranya, bernama Sang Hyang Aji Rembat (penawing) berasrama di Kentelgumi, Sang Hyang Aji Rembat berputra Ida Mas Kuning berasrama di Guliang, berasrama di bukit Pangelengan.

Tersebut seorang pendeta Sang Pandia Wawu Rawuh, bertemu dengan Bhatara Subali di Tolangkir, Sang Pandia Wawu Rawuh hilir mudik menyusur tepi sungai Melangit. Tetapi, tidak menemukan mata air. Lalu beliau menancapkan tongkat pada-batu padas hingga keluar air yang jernih mengalir.

Bersama dengan keluarnya air itu, muncul pula seorang wanita. Sang Pandia Wawu Rawuh menanyai wanita itu, dan memberi nama Ni Dewi Njung Asti. Air itu diberi nama Tirta Harum. Ni Dewi Njung Asti disuruh menunggui air itu dan Sang Pandia Wawu Rawuh kembali pulang.

Bau harum itu sampai ke udara. Tercium oleh Hyang Wisnu dan segera bercengkrama di Tirta Harum. Di sana di sebuah gua tampak oleh Bhatara Wisnu seorang gadis, tetapi sang gadis tidak melihat. Bhatara Wisnu mandi dan keluar air mani, karena tak tahan melihat gadis itu. Bhatara Wisnu kembali ke Wisnuloka.

Ni Dewi Njung Asti keluar dari gua, melihat air mani Bhatara Wisnu di atas batu, lalu diambil dan dimakannya. Dewi Njung Asti, akhirnya hamil .

Dalam keadaan hamil Ni Dewi Njung Asti berkunjung pula Hyang Wisnu, serta bertanya asal usul dirinya. Setelah diceriterakan dengan jelas, maka Ni Dewi Njung Asti, diajak ke Wisnu Bhuana.

Bhatara Subali memaklumi air suci (Tirta Harum)itu. Disuruhnya Sang Hyang Aji Rembat menjaganya dan membersihkan pancuran setiap hari. Bhatara Subali membuat telaga meniru di Majapahit, maka diberi nama Taman Bali.

Lama kelamaan mereka masing- masing mempunyai putra, Sang Hyang Aji Jayarembat berputra Sira Dukuh Suladri. Ida Mas Kuning berputra dua orang, Ida Tapadhana
dan Ida Nagapuspa. Bhatara Dalem Sekar Angsana berputra Ni Dewi Ayu Mas.

Bhatara Subali memohon kepada Hyang Wisnu. Permohonannya terkabul, yaitu putra yang lahir dari Dewi Njung Asti bernama Sang Gangga Tirta. Anak itu dibawa oleh Bhatara Subali ke Tirta Harum. Bhatara Subali kembali ke Tolangkir .

Keesokan harinya, Sang Hyang Aji Jayarembat mendapatkan bayi itu pada pancuran di Tirta Harum. Segera datang Bhatara Subali menegaskan bahwa anak itu adalah putranya yang diperoleh dari Bhatara Wisnu.

Berkat Restu Bhatara Subali, anak itu diasuh oleh Sang Aji Rembat, semula bernama Sang Angga Tirta lalu diganti dengan nama Sang Anom, dalam waktu singkat, anak tersebut sangat rupawan dan telah remaja putra, kemudian pindah ke Rewataka Singasara.

Tersebut bahwa Ni Dewi Ayu Mas di Gelgel sakit keras, Dipindahkan ke Taman Bali . Diobati oleh Sang Hyang Aji Jayarembat. Dalam waktu singkat telah sembuh. Diajak kembali ke Gelgel, kemudian penyakitnya kambuh lagi. Demikian berulang-ulang akhirnya tinggal di Taman Bali sampai dewasa.

Terjalinlah hubungan antara Sang Anom dengan Dewi Ayu Mas hingga hamil, Dalem Sekar Angsana amat marah, dan memerintahkan untuk membunuh Sang Anom, dan Sang Hyang Aji. Rembat agar diantarkan ke Gelgel, Namun Dalem mengirim utusan rahasia untuk menyuruh Sang Anom menyingkir , Maka Sang Anom tiba di Tianyar luput dari serangan musuh.

Lama kelamaan Sang Anom melawat ke desanya kembali, sambil memikat burung di tengah hutan Jarak Bang. Sang Anom bertanya dijawab dengan kelakar berkali-kali. Sang Anom marah dan mengutuk tempat itu agar bernama Bangli, orang-orang dusun itu melaporkan ke Gelgel. Dalem memerintahkan untuk menangkap pemuda tersebut dan diantarkan ke istana Gelgel.

Sang Anom tertangkap dan diantar ke Gelgel. Mereka yang melihat pada bersedih menyaksikannya. Setelah tiba di Gelgel, Dalem memerintahkan untuk menangkap Sang Hyang Aji Jayarembat, dalam waktu singkat telah berhasil diserahkan kepada Dalem.
Bhatara Subali dari Tolangkir menghadap ke Gelgel melarang Dalem untuk membunuhnya serta menceriterakan riwayat kelahiran Sang Anom dan meminta agar Sang Anom bersuami istri dengan Dewi Ayu Mas serta kembali ke Taman Bali. Dalem dapat menyetujui dan kemudian sangat menyayangi sebagai menantu.

Restu Bhatara Subali kepada Sang Anom sebagai cikal- bakal Ksatria Taman Bali lahir dari Tirta Harum.

Juga upacara dan upakara pembakaran jenasah sesuai dengan seorang Ksatria. Tidak boleh lupa turun- temurun agar nyawi ke Tirta Harum.

Sang Anom dan Ni Dewi Ayu Mas sedang hamil berada di Taman Bali, Sang Anom meninggalkan istrinya untuk bertapa, dengan pesan bila lahir anaknya nanti agar diberi nama I Dewa Garba Jata. Dan disediakan sebilah keris yang bernama Ki Lobar untuk senjatanya di kemudian hari, bila Dalem meminta jangan diberikan.

Pada saatnya I Dewa Garba Jata pun lahir. Setelah dewasa menanyakan perihal ayahnya. Sang ibu menceriterakan tengah bersemadi di hutan Dawa, serta ciri-cirinya yang khas, Kemudian I Dewa Garba Jata menjumpai ayahnya, tetapi tidak berkenan kembali pulang, Putranya disuruh kembali dan menjadi raja di Taman Bali. Dan tetap nyawi ke Tirta Harum serta Ki Lobar. Sang Anom pun wafat, I Dewa Garba Jata -kembali ke Taman Bali dan menceriterakan semuanya kepada ibunya.

Dalem amat cinta kepada I Dewa Garba Jata dan menganugrahkan seorang putri beliau untuk menjadi istrinya. Langsung upacara wiwaha menurut tata cara Ksatria.

I Dewa Garba Jata memperoleh seorang putra bernama Cokorda Den Bancingah, Setelah dewasa beristri putri Kyayi Jambe Pule. Melahirkan putra bernama Cokorda Pemecutan, Cokorda Pamecutan berputra I Dewa Gde Den Bancingah. I Dewa Gde Den Bancingah berputra I Dewa Kanea Den Bancingah. I Dewa Kanea Den Bancingah berputra I Dewa Gede Tangkeban. I Dewa Gede Tangkeban banyak putranya:

  1. I Dewa Pering
  2. I Dewa Pindi
  3. I Dewa Prasi
  4. I Dewa Kaler
  5. I Dewa Batan Wani
  6. I Dewa Pulesari
  7. I Dewa Mundung
  8. I Dewi Kliki
  9. I Dewa Gde Anom Teka
  10. Tak tercatat yang wanita.

Perpindahan putra-putra I Dewa Gede Tangkeban

  1. I Dewa Pering ke Brasika (Nyalian)
  2. I Dewa Prasi ke Gaga
  3. I Dewa Pindi ke Telagasura
  4. I Dewa Kaler tetap di Taman Bali.
Keris pusaka Ki Lobar dimohon oleh I Dewa Gde Pering kepada I Dewa Gde Tangkeban di Taman Bali. Keris dibawa ke Desa Nyalian.

Tersebut seorang raja di Bangli bernama Kyayi Anglurah Prawupan (keturunan Arya Batan Jeruk). Raja Taman Bali mengutus dua orang pesakitan untuk membunuh raja Bangli. Namun gagal, Kemudian raja Bangli mengutus kembali dua pesakitan itu untuk membunuh raja Taman Bali dengan janji bila berhasil diberikan hadiah kekuasaan di daerah itu, Pesakitan itu berusaha membunuh I Dewa Taman Bali, namun pesakitan itu dapat dibunuhnya. I Dewa Taman Bali hanya menderita luka berat dan lama belum pulih.

Sedang dalam penderitaan luka parah, istri I Dewa Taman Bali digauli oleh putranya sendiri yang bernama I Dewa Kaler. I Dewa Kaler diusir dari Taman Bali kemudian bernama Pungakan Kedisan karena dalam perjalanannya disambar burung gagak, juga disebut Pungakan Don Yeh karena waktu berangkatnya mengarungi hujan lebat dan banjir.

Setelah raja Taman Bali wafat, diganti oleh putranya bernama I Dewa Anom Teka hendak menuntut balas atas wafat ayahnya yang direncanakan oleh Anglurah Paraupan di Bangli. Hal itu didukung oleh sanak keluarga dan pejabat- pejabat bawahannya. Segera mereka menyerang Bangli di bawah pimpinan I Dewa Anom Teka.

Terjadi peperangan sengit antara Taman Bali dengan Bangli yang dipimpin oleh Kyayi Paraupan dan putranya Kyayi Anglurah Dawuh Bahingin. Kyayi (Pamamoran) tewas, Kyayi Dawuh Bahingin tewas pula. Kyayi Paraupan tampil sebagai pimpinan perang. Beliau pun gugur pula. Akhirnya Bangli mengalami kekalahan.

Setelah Bangli kalah para putra Taman Bali beralih tempat. I Dewa Gede Perasi di Bangli, I Dewa Gede Pindi di Gaga.

Di Taman Bali bertahta I Dewa Anom Teka menggantikan ayahnya. Berdiri tiga kerajaan, Bangli, Taman Bali, Nyalian.

I Dewa Gde Prasi Raja Bangli, mempunyai seorang putri bernama I Dewa Ayu Den Bancingah. Tanpa keturunan.

I Dewa Kanea (ipar Dalem Linggarsapura) amat disayang oleh Dalem, diberi pangkat Kanea, diam di Utara Bancingah bergelar I Dewa Kanea Den Bancingah. Mempunyai seorang putra bernama I Dewa Gede Tangkeban, sebab pada waktu lahirnya tanpa sengaja ditutup kasur tempat duduk raja oleh Ki Arya Jambe Pule.

Pada saat terjadi pemberontakan Kyayi Anglurah Agung di Gelgel, Dalem Dimade mengungsi ke Guliang. I Dewa Kanea Den Bancingah kembali ke Brasika membawa keris Ki Lobar.

Taman Bali dikalahkan oleh Kyayi Anglurah Made dari Karangasem. Putra-putra raja Taman Bali diungsikan, ke Gianyar oleh I Dewa Manggis, Kemudian I Dewa Agung Gde diam di Taman Bali karena Taman Bali diserahkan oleh Kyayi Anglurah Made Karangasem. I Dewa Agung Gde menyerahkan desa-desa: Cegeng, Tembaga, Tohjiwa, Sangkan Aji, Margayu, Pamubugan, Sukahet, Lebu, kepada Anglurah Made Karangasem, I Dewa Agung Gde berputra dua orang di Taman Bali, pria-wanita. Yang pria bernama, I Dewa Agung Gde Taman Bali.

I Dewa Gde Taman Bali menggempur Taman Bali atas bantuan I Dewa Manggis, Taman Bali dikuasai kembali. I Dewa Agung Gde mengungsi ke Puri Kanginan (Klungkung)

I Dewa Manggis ingin melihat warna Ki Lobar. Tak diijinkan oleh Dalem. Namun niatnya tak kunjung padam.

Lama kelamaan Dalem meminjamkan keris Ki Lobar. I Dewa Gede Tangkeban menjadi salah paham, I Dewa Taman Bali dan I Dewa di Bangli menyarankan agar dipertahankan meskipun apa terjadi. Didukung oleh sanak keluarga dan rakyatnya. I Dewa Agung Putra mendengar hal itu maka baginda minta bantuan ke Karangasem dan Gianyar untuk menggempur Nyalian. Terjadi perang sengit, I Dewa Gede Tangkeban minta bantuan Taman Bali dan Bangli, namun belum diberikan. Ternyata I dewa Gede Tangkeban tetap mengadakan perlawanan bersama sanak keluarganya. Banyak jatuh korban. I Dewa Gede Tangkeban tampil ke depan dengan menghunus Ki Lobar, hingga musuh- musuhnya lari tunggang-langgang. Kemudian pasukan Dalem maju lagi. I Dewa Gede Tangkeban tertembak, namun tidak gugur. Terpikir olehnya, kekecewaan dirinya, sehingga timbul kemarahannya pada sanak keluarganya di Bangli dan Taman Bali, beliau pun mengutuk agar selalu cekcok sesama keluarganya. Lalu ujung Ki Lobar dipotongnya. I Dewa Gde Tangkeban gugur dalam peperangan, Nyalian dikuasai oleh Klungkung.

I Dewa Gede Tangkeban meninggalkan seorang putra dilarikan ke Bangli oleh ibunya. Kemudian diasuh sebaik baiknya oleh I Dewa Ayu Den Bancingah, seperti putra kandung karena I Dewa Ayu Den Bancingah tidak berputra
selama bersuami istri dengan I Dewa Anon Rai.

I Dewa Anom Rai mempunyai seekor kuda bernama
Gandawesi dan mempunyai keahlian dapat melihat apa yang terjadi.

I Dewa Anom Rai kawin dengan seorang kasta sudra, sehingga I Dewa Den Bancingah tidak diperhatikan lagi, timbul sakit hatinya dan menyidangkan bawahannya. I Dewa Ayu Den Bancingah berkat bantuan seorang dukun Ida Waneng Pati berhasil membunuh I Dewa Anom Rai di tempat tidurnya. Kemudian I Dewa Ayu Den Bancingah menjadi Ratu. Keamanan pulih kembali.

Putra I Dewa Gede Tangkeban yang diasuh di Puri Bangli telah dewasa. Belum beristri. Senang tari- tarian antara lain, gambuh, legong, mencari guru tari ke Sukawati. Kesenangannya itu sama dengan kesenangan raja Taman Bali. Sering saling sabot guru tari, timbul cekcok antara Bangli dan Taman Bali. Taman Bali hendak menyerang Bangli, maka minta bantuan pada Dalem di Klungkung. Dalem tak berkenan karena tak pernah cekcok dengan raja Bangli. I Dewa Taman Bali merasa kecewa. Kemudian I Dewa Gede Raka Taman Bali mengumpulkan sanak saudara antara lain; I Dewa Gede Mundung, I Dewa Pulesari, I Dewa Batan Wani, I Dewa Jelepung, I Dewa Pindi, I Dewa Rendang, I Dewa Guliangan, I Dewa Pasalakan. Semua setuju menggempur Bangli tetapi agar minta bantuan ke Gianyar. Hal itu disetujui oleh I Dewa Taman. Bali, lalu minta bantuan kepada I Dewa Manggis dengan catatan bila Bangli kalah agar dibagi dua. Pasukan Gianyar dipimpin oleh Cokorda Mas. Bangli kalah dikuasai oleh Taman Bali dan Gianyar. Raja Bangli bersembunyi di Kehen. Raja Taman Bali mengepung Kehen, dan raja Gianyar menunggu di Taman Bali.

I Dewa Ayu Den Bancingah setelah memperoleh wahyu di Pura Kehen, hendak berhadapan dengan I Dewa Taman Bali. Namun bersimpang jalan, perjalanannya langsung ke selatan hingga ke Taman Bali, maka berhadapan dengan I Dewa Manggis, pasukan I Dewa Manggis kalah, mereka kembali ke Gianyar.

I Dewa Taman Bali tiba di Kehen, tidak berjumpa dengan siapa pun juga. Melihat asap mengepul di arah selatan. Disangka raja Gianyar berbuat buruk. Segera beliau hendak menghadapi raja Gianyar. Tiba di Taman Bali, ternyata sunyi-senyap. Dugaannya semula semakin tebal dan kuat

I Dewa Taman Bali menerima laporan dari Guliang, bahwasanya ada serangan pasukan Klungkung. Pasukan Klungkung dihadapinya, pasukan Klungkung ketakutan, sebab tujuannya bukan untuk berperang, melainkan Cokorda Dewagung Putra ingin bertemu dengan I Dewa Manggis. Karena serbuan pasukan Taman Bali, maka baginda kembali melalui jembatan darurat. Jembatan itu patah menimbulkan banyak korban, Dewagung Putra wafat di Blahpane. Bhatara Dalem Sakti (ayah Dewata di Blahpane) amat murka dan memerintahkan agar Gianyar dan Bangli menyerang Taman Bali, Terjadi pertempuran sengit sasih ke 5, rah 9, tenggek 3, titi tanggal 13 Isaka 1809. Taman Bali kalah, dibumihanguskan oleh Bangli. Dan kekayaan Taman Bali dibawa ke Bangli, Raja Bangli tetap I Dewa Ayu Den Bancingah.


Rabu, 01 Juli 2009

Puri Anom Tabanan

Puri Anom Tabanan

Sejarah dan latar belakang

Sejarah Puri Anom Tabanan, tidak terlepas dari ekspansi kerajaan majapahit ke bali pada masa pemerintahan Ratu tribuwana tungga dewi dengan patihnya yang terkenal yaitu Maha Patih Gajah mada. Patih Gajah Mada beserta pembesar-pembesar kerajaan Majapahit dan para Arya menyerang Bali yang pada saat itu dikuasai oleh seorang Raja yang bergelar Batari Sri Astasura Ratna Bumi Banten.

Gajah Mada di Bantu oleh beberapa orang Arya, setelah berhasil memenangkan perang langsung ditempatkan di masing-masing daerah sebagai seorang raja, yakni:

1. Arya Kenceng, berkuasa di Pucangan buahan (Tabanan) dengan diberikan rakyat sebanyak 40.000 orang. Sehingga dapat dipastikan berdirinya Kerajaan Tabanan adalah pada tahun 1343 Masehi atau tahun Caka 1265.

2. Arya Kutawaringin, berkuasa di Gelgel dan diberikan rakyat sebanyak 5.000 orang

3. Arya Sentong, berkuasa di Carang Sari

4. Arya Delancang, berkuasa di Desa Kapal

5. Arya Kanuruhanu, berkuasa di Desa Tangkas

6. Arya Punta, berkuasa di Desa Mambal

7. Arya Jerudeh, berkuasa di Desa Temukti

8. Arya Tumenggung,i Desa Petemon

9. Arya Pamecakan, berkuasa di Desa Bondalem

10. Arya Beleteng, berkuasa di Desa Pacung

Kerajaan Tabanan berdiri pada tahun 1343 Masehi, sampai saat ini telah menurunkan sekitar 21 orang raja, di mana raja yang terakhir duduk di singgasana adalah Ida Cokorda Ngurah Rai Perang, yang tewas Puputan bersama putra mahkota di Badung sesaat setelah Perang puputan badung terjadi pada tahun 1906 karena tidak sudi untuk menyatakan tunduk kepada penjajah Belanda. Putri –putri beliau yang tersisa kemudian pindah ke Puri Anom Tabanan pada tahun 1910 dan menikah di Puri Anom Tabanan.

Puri Anom Tabanan didirikan pada masa pemerintahan Ida Cokorda Ngurah Agung Tabanan, raja yang ke-19, yang berkuasa pada tahun 1810 – 1843. Beliau memerintahkan putranya yang masih muda (Anom) untuk membangun istana baru tepat di sebelah utara puri kerajaan sehingga itu mungkin yang menyebabkan istana itu kemudian disebut sebagai Puri Anom yang dapat diartikan sebagai Istana Muda atau juga Istana yang baru. Sejak saat itu sampai sekarang puri ini dipakai untuk tempat tinggal dan kegiatan keluarga Raja-Raja Tabanan.

Pada bulan Agustus tahun 2003 Puri Anom Tabanan diresmikan oleh bupati selaku kepala pemerintah Daerah Tabanan sebagai salah satu warisan budaya dan sebagai aset Kota Tabanan yang sangat penting untuk dilestarikan. Dalam upaya itu puri dibuka untuk umum agar masyarakat dapat lebih memahami dan menghargai peninggalan sejarah yang bernilai luhur.

Arsitektur khas kerajaan di Bali dapat ditemui di Puri Anom Tabanan yang berlokasi di jantung Kota banan berdiri di kawasan hampir seluas 2 hektar.

Bagian-bagian puri

Terdapat beberapa bagian penting dari bangunan puri yang merupakan ciri khas dari struktur arsitektural sebuah Puri.

1. Bencingah - Bencingah Puri merupakan Bagian terdepan dari Kompleks ini. Sebuah pohon beringin yang berumur ratusan tahun (diperkirakan ditanam pada saat pembangunanpuri ini) merupakan simbol pengayoman terhadap masyarakat. Pada zaman dahulu pasar selalu berlokasi di depan Bencingah puri. Karena melalui bencingah Raja akan dapat memantau perkembangan ekonomi rakyat. Di Bencingah terdapat sebuah bangunan yang disebut Bale Bengong, tempat Raja memantau kegiatan ekonomi rakyat.

2. Ancak Saji - Ditandai dengan sebuah gerbang kembar yang bernama Candi bentar. Terdapat sebuah bangunan kuno berukir motif lama, merupakan tempat melapor untuk tamu yang akan menghadap ke Puri. Disebelah selatannya terdapat Suci Agung Puri, yang merupakan tempat persembahyangan keluarga puri.

3. Bale Kembar - Kompleks bale-bale ini merupakan tempat upacara pitra yadnya yang paling utama, Upacara pitra yadnya ini bernama munggah Bale kembar. Upacara ini sekarang sangat sulit dilaksanakan karena memakan waktu minimal 6 bulan hingga mencapai 1 tahun.

4. Tandekan - Tandekan adalah merupakan tempat tamu akan diterima, dan juga sebagai "guest house" atau tempat bermalam tamu-tamu kerajaan yang dihormati.

5. Saren Agung - Terdapat dua buah saren Agung dan tiga Suci Alit, sebagai tempat untuk upacara manusa yadnya.

6. Pakraman - Pakraman adalah tempat tinggal dan tempat aktivitas sehari-hari keluarga puri. Terdapat tiga pakraman di puri anom Tabanan, yakni pakraman saren kangin, pakraman saren tengah dan pakraman saren kauh.

7. Pekandelan adalah tempat tinggal abdi dalem Puri yang dipercaya

PURI AGUNG BULELENG


Puri Agung Buleleng

PURI AGUNG BULELENG

Ki Gusti Panji Sakti, seorang yang dijuluki banyak nama: Ki Barak, Gde Pasekan, Gusti Panji, Ki Panji Sakti, Ki Gusti Anglurah Panji Sakti, yang berkonotasi tangguh - teguh, berjiwa pemimpin, merakyat, memiliki daya super natural - sakti, adalah pendiri kerajaan Buleleng di tahun 1660an. Sebelumnya wilayah Buleleng dikenal dengan nama Den Bukit. Masyarakat Bali Selatan jaman berkembangnya pengaruh Majapahit, Den Bukit dilihat sebagai "daerah nun disana dibalik bukit". Daerah misterius, terra incognito, banyak pendatang silih berganti, bajak laut. Orang yang ingin tinggal menetap mereka menjauhi daerah pesisir, memilih tempat lebih ke tengah, ke wilayah sebelah Selatan. Maka itu wilayah di selatan bukit disebut Bali Tengah atau Bali Selatan.

Selama berkuasa di Den Bukit Panji Sakti sejak 1660an sampai 1697 sangat disegani kawan maupun lawan. Dengan pasukan Gowak yang diorganisir bersama rakyat, beliau menguasai kerajaan Blambangan, Pasuruan, Jembrana. Hingga tahun 1690an Panji Sakti menikmati kejayaannya.

Buleleng adalah nama puri yang dibangun Panji Sakti di tengah tegalan jagung gembal yang juga disebut juga buleleng. Letaknya tidak jauh dari sungai yang disebut juga tukad Buleleng. Purinya disebut Puri Buleleng. Puri yang yang lebih tua, terletak di desa Sangket yang dinamai puri Sukasada. Ki Gusti Panji sakti diperkirakan wafat tahun 1699 dengan meninggalkan banyak keturunan.

Namun sayang putra-putra Ki Gusti Panji Sakti mempunyai pikiran yang berbeda satu sama lain sehingga kerajaan Buleleng menjadi lemah. Kerajaan Buleleng terpecah belah. Akhirnya dikuasai kerajaan Mengwi, termasuk Blambangan. Lepas dari genggaman Mengwi kemudian tahun 1783 jatuh ke tangan kerajaan Karangasem. Sejak itu terjadi beberapa kali pergantian raja asal Karangasem. Salah seorang raja asal Karangasem yaitu I Gusti Gde Karang bertakhta sebagai raja Buleleng tahun 1806-1818. Sebagai raja Buleleng beliau juga menguasai kerajaan Karangasem dan Jembrana. Beliau dikenal berwatak keras dan curiga kepada bangsa asing. Memang pada jaman itu bangsa asing seperti Belanda dan Inggris ingin menguasai Bali melalui Buleleng dan Jembrana.

PURI AGUNG KARANGASEM



Puri Agung Karangasem

PURI AGUNG KARANGASEM

Puri ini dibangun pada akhir abad ke 19 oleh Anak Agung Gede Jelantik yaitu Raja Karangasem yang pertama. Daya tarik yang utama dari puri ini adalah arsitektur bangunannya perpaduan antara arsitektur Bali, China dan eropah. Arsitektur Bali dapat dilihat pada ukiran Candi, Patung dan Relief wayang pada dinding bangunan, pengaruh Eropah terlihat dari bentuk bangunan induk dan beranda yang luas dengan nama Maskerdam. Arsitektur China terletak pada motif ukiran pada pintu, jendela dan ornamen bangunannya.

Bahkan di halaman Puri terdapat pohon leci yang umurnya sudah tua. Daya tarik khas dari Puri Agung Karangasem selain perpaduan beberapa arsitektur, juga terletak pada candi-candinya yang menjulang tinggi mencapai ketinggian 25 meter terbuat dari batu bata dan dihiasi cetakan motif wayang. Di depan candi terdapat sepasang patung singa dan sepasang patung penjaga pintu dan sepasang pos penjagaan.

Ada dua buah puri lainnya yaitu Puri Gede dan Puri Kerta Sura letaknya di sebelah Barat Puri Agung Karangasem terdiri dari 3 bagian yaitu halaman pertama bernama Bencingah, halaman kedua bernama Jaba Tengah dan halaman paling dalam adalah bangunan utama bernama Maskerdam. Puri Agung Karangasem sekarang dikelola oleh suatu yayasan bernama Amertha Jiwa yang dibentuk oleh keluarga besar puri dan pengurusnya juga dari keluarga puri. Disamping itu identitasnya yang khas, Gapuranya yang sangat tinggi, dipinggir jalan diluar tembok terdapat dua buah pos penjagaan, sepasang patung singa dikiri kanan dan Selatan terdapat dua buah bangunan dan kamar-kamarnya disediakan untuk para tamu yang diundang. Tempat ini biasanya digunakan untuk kegiatan pertunjukan tradisional. Untuk mencapai Jaba Tengah kita akan memasuki pula pintu gerbang dengan candi yang tinggi dan diapit pula oleh sepasang patung penjaga pintu dan sepasang patung singa dikiri kanan pintu masuk. Di halaman Jaba Tengah digunakan sebagai taman dan kita jumpai pohon leci yang umurnya sudah tua, kolam air yang ditengah-tengahnya terdapat gili, di pinggir kolam terdapat patung-patung dan pot bunga yang besar. Halaman yang paling dalam terletak bangunan utama yang bernama Maskerdam. Pemberian nama demikian ada kaitannya dengan nama kota Amsterdam di negeri Belanda, sebab pada saat pembangunan gedung tersebut sedang dijalin hubungan baik antara Raja Karangasem dengan Kerajaan Belanda. Bangunan induk ini digunakan sebagai istana raja. Bangunan yang terletak di belakang Maskerdam disebut "London" untuk tempat tinggal keluarga raja. Pemberian nama demikian karena Kota London di Inggris bertetangga dengan kota Amsterdam di Negeri Belanda. Di depan istana Maskerdam terdapat sebuah bangunan bernama "Bale Pemandesan", ungsinya untuk tempat upacara potong gigi atau juga tempat menyimpan untuk sementara jenasah para keluarga puri yang meninggal sampai upacara pelebon dilaksanakan . Di dekat bangunan ini menghadap ke kolam terdapat patung singa bersayap yang besar. Di depan Bale Pemandesan terdapat "Bale Pewedaan" atau "Bale Lunjuk" tempat para pendeta memuja bila ada upacara keagamaan. Di depan komplek Maskerdam terdapat "Bale Kambang" atau Gilii di tengah-tengah kolam air fungsinya untuk tempat rapat keluarga besar puri. Di sebelah Selatan kolam terdapat bangunan tua bernama "Bale Werdastana" yang pembangunannya dilaksanakan oleh orang-orang China. Bangunan ini seluruhnya menggunakan arsitektur dan motif China. Sayang bangunan ini telah hancur karena usia tua dan terutama karena akibat gempa bumi yang terjadi pada tahun 1979.


Sejarah Kerajaan Karangasem

Dalam menguraikan sejarah Kerajaan Karangasem, ada dua buah buku sumber yang dipakai sebagaimana yang ditulis oleh Agung (1991) dan Agung (2001). Nama ‘Karangasem’ sebenarnya berasal dari kata ‘Karang Semadi’. Beberapa catatan yang memuat asal muasal nama Karangasem adalah seperti yang diungkapkan dalam Prasasti Sading C yang terdapat di Geria Mandara, Munggu, Badung. Lebih lanjut diungkapkan bahwa Gunung Lempuyang yang menjulang anggun di timur laut Amlapura, pada mulanya bernama Adri Karang yang berarti Gunung Karang. Pada tahun 1072 (1150 M) tanggal 12 bulan separo terang, Wuku Julungwangi dibulan Cetra, Bhatara Guru menitahkan puteranya yang bernama Sri Maharaja Jayasakti atau Hyang Agnijaya untuk turun ke Bali. Tugas yang diemban seperti dikutip dalam prasasti berbunyi” gumawyeana Dharma rikang Adri Karang maka kerahayuan ing Jagat Bangsul…”, artinya datang ke Adri Karang membuat Pura (Dharma) untuk memberikan keselamatan lahir-batin bagi Pulau Dewata. Hyang Agnijaya diceritakan datang berlima dengan saudara-saudaranya yaitu Sambhu, Brahma, Indra, dan Wisnu di Adri Karang (Gunung Lempuyang di sebelah timur laut kota Amlapura). Mengenai hal ihwal nama Lempuyang adalah sebagai tempat yang terpilih atau menjadi pilihan Bhatara Guru (Hyang Parameswara) untuk menyebarkan ‘sih’ Nya bagi keselamatan umat manusia. Dalam penelitian sejarah keberadaan pura, Lempuyang dihubungkan dengan kata ‘ lampu’ artinya ‘terpilih’ dan ‘Hyang’ berarti Tuhan; Bhatara Guru, Hyang Parameswara. Di Adri Karang inilah beliau Hyang Agnijaya membuat Pura Lempuyang Luhur sebagai tempat beliau bersemadi. Lambat laun Karang Semadi ini berubah menjadi Karangasem.

Sejarah Kerajaan Karangasem tidaklah bisa dilepaskan dengan Kerajaan Gelgel terutama pada masa puncak kebesaran di masa pemerintahan Dalem Waturenggong diperkirakan abad XV. Dalam sejarah, kerajaan Gelgel pertama diperintah oleh putra Brahmana Pendeta Dang Hyang Kepakisan bernama Kresna Wang Bang Kepakisan yang diberi jabatan sebagai adipati oleh Patih Gajah Mada.

Setelah dilantik, beliau bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang berkedudukan di Samprangan pada tahun saka 1274 (1352 M). Dalam pengangkatan ini disertai pula dengan pakaian kebesaran serta keris yang bernama I Ganja Dungkul dan sebilah tombak diberi nama I Olang Guguh.

Dalem Ketut Kresna Kepakisan kemudian wafat pada tahun caka 1302(1380 M) yang meninggalkan tiga orang putra yakni I Dewa Samprangan (Dalem Ile) sebagai pengganti raja, I Dewa Tarukan, dan I Dewa Ktut Tegal Besung (Dalem Ktut Ngulesir). Pada saat Dalem Ngulesir menjadi raja, pusat pemerintahan kemudian dipindahkan dari Samprangan ke Gelgel (Sweca Pura). Beliau abiseka Dalem Ktut Semara Kepakisan pada caka 1305 (1383 M). Beliau inilah satu-satunya raja dari Dinasti Kepakisan yang masih sempat menghadap Raja Sri Hayam Wuruk di Majapahit untuk menyatakan kesetiaan. Di Majapahit beliau mendapat hadiah keris Ki Bengawan Canggu yang semula bernama Ki Naga Besuki, dan karena tuahnya juga dijuluki Ki Sudamala.

Dalem Ketut Semara Kepakisan juga sempat disucikan oleh Mpu Kayu Manis. Namun, beberapa tahun lamanya setelah datang dari Majapahit, beliau wafat pada caka 1382 (1460 M), dan digantikan oleh putra beliau bernama Dalem Waturenggong. Beliau ini dinobatkan semasih ayahnya hidup pada caka 1380 (1458 M). Jaman keemasan Dalem Waturenggong dicirikan oleh pemberian perhatian terhadap kehidupan rakyat secara lahir dan batin. Masyarakat menjadi aman, tenteram, makmur, dan kerajaan meluas sampai ke Blambangan, Lombok, dan Sumbawa. Dalam bidang kesusastraan juga mencapai puncak keemasan dengan lahirnya beberapa karya sastra. Keadaan ini mencerminkan bahwa raja memiliki pribadi yang sakti, berwibawa, adil, serta tegas dalam memutar jalannya roda pemerintahan.

Setelah wafat, Dalem Waturenggong digantikan oleh putranya yang belum dewasa yaitu Dewa Pemayun (Dalem Bekung) dan I Dewa Anom Saganing (Dalem Saganing). Karena umurnya yang masih muda maka diperlukan pendamping dalam hal menjalankan roda pemerintahan.

Adapun lima orang putra yang menjadi pendamping raja yaitu putra I Dewa Tegal Besung (adik Dalem Waturenggong) diantaranya I Dewa Gedong Arta, I Dewa Anggungan, I Dewa Nusa, I Dewa Bangli, dan I Dewa Pagedangan. Jabatan Patih Agung pada saat itu dipegang oleh I Gusti Arya Batanjeruk dan semua kebijakan pemerintahan dipegang oleh Patih Arya Batanjeruk. Melihat situasi seperti ini, pejabat kerajaan menjadi tidak puas. Suatu ketika disebutkan kepekaan para pembesar istana saat raja yang masih belia itu dihadap para pembesar. Raja yang masih suka bermain-main ke sana-ke mari selalu duduk di pangkuan Ki Patih Agung. Dalem Pemayun duduk di atas pupu sebelah kanan dan Ida I Dewa Anom Saganing di sebelah kiri. Kemudian kedua raja ini turun lagi dan duduk di belakang punggung Ki Patih. Isu berkembang bahwa I Gusti Arya Batanjeruk akan mengadakan perebutan kekuasaan. Nasehat Dang Hyang Astapaka terhadap maksud ini tidak diperhatikan oleh Ki Patih Agung sehingga kekecewaan ini menyebabkan hijrahnya Dang Hyang Astapaka menuju ke sebuah desa bernama Budakeling di Karangasem.

Kekacauan di Gelgel terjadi pada tahun 1556 saat Patih Agung Batanjeruk dan salah seorang pendamping raja yaitu I Dewa Anggungan mengadakan perebutan kekuasaan yang diikuti oleh I Gusti Pande dan I Gusti Tohjiwa. I Gusti Kubon Tubuh dan I Gusti Dauh Manginte akhirnya dapat melumpuhkan pasukan Batanjeruk. Diceritakan Batanjeruk lari ke arah timur dan sampai di Jungutan, Desa Bungaya ia dibunuh oleh pasukan Gelgel pada tahun 1556. Istri dan anak angkatnya yang bernama I Gusti Oka (putra I Gusti Bebengan, adik dari I Gusti Arya Batanjeruk) serta keluarga lainnya seperti I Gusti Arya Bebengan, I Gusti Arya Tusan, dan I Gusti Arya Gunung Nangka dapat menyelamatkan diri berkat pohon jawawut dan burung perkutut yang seolah olah melindungi mereka dari persembunyian, sehingga sampai kini keturunannya tidak makan buah jawawut dan burung perkutut. I Gusti Oka kemudian mengungsi di kediaman Dang Hyang Astapaka di Budakeling, sedangkan para keluarga lainnya ada yang menetap di Watuaya, Karangasem. Sedikit diceritakan bahwa Dang Hyang Astapaka juga punya asrama di Bukit Mangun di Desa Toya Anyar (Tianyar) dan I Gusti Oka selalu mengikuti Danghyang Astapaka di Bukit Mangun, sedangkan ibunya tinggal di Budakeling membantu sang pendeta bila ada keperluan pergi ke pasar Karangasem.

Pada waktu itu, Karangasem ada di bawah kekuasaan Kerajaan Gelgel, dan yang menjadi raja adalah I Dewa Karangamla yang berkedudukan di Selagumi (Balepunduk). I Dewa Karangamla inilah yang mengawini janda Batanjeruk dengan suatu syarat sesuai nasehat Dang Hyang Astapaka bahwa setelah kawin, kelak I Gusti Pangeran Oka atau keturunannyalah yang menjadi penguasa. Syarat ini disetujui dan kemudian keluarga I Dewa Karangamla berpindah dari Selagumi ke Batuaya. I Dewa Karangamla juga mempunyai putra dari istrinya yang lain yakni bernama I Dewa Gde Batuaya. Penyerahan pemerintahan kepada I Gusti Oka (raja Karangasem I) inilah menandai kekuasaan di Karangasem dipegang oleh dinasti Batanjeruk.

I Gusti Oka atau dikenal dengan Pangeran Oka memiliki tiga orang istri, dua orang prebali yang seorang diantaranya treh I Gusti Akah. Para istri ini menurunkan enam orang putra yaitu tertua bernama I Gusti Wayahan Teruna dan I Gusti Nengah Begbeg. Sedangkan istri yang merupakan treh I Gusti Akah berputra I Gusti Nyoman Karang. Putra dari istri prebali yang lain adalah I Gusti Ktut Landung, I Gusti Marga Wayahan dan I Gusti Wayahan Bantas. Setelah putranya dewasa, I Gusti Pangeran Oka meninggalkan Batuaya pergi bertapa di Bukit Mangun, Toya Anyar. Beliau mengikuti jejak Dang Hyang Astapaka sampai wafat di Bukit Mangun. I Gusti Nyoman Karang inilah yang meggantikan ayahnya menjadi raja (raja Karangasem II) yang diperkirakan tahun 1611 Masehi.

I Gusti Nyoman Karang menurunkan seorang putra bernama I Gusti Ktut Karang yang setelah menjadi raja bergelar (abhiseka) I Gusti Anglurah Ktut Karang (raja Karangasem III). Beliau ini diperikirakan mendirikan Puri Amlaraja yang kemudian bernama Puri Kelodan pada pertengahan abad XVII (sekitar tahun caka 1583, atau tahun 1661 M). I Gusti Anglurah Ktut Karang berputra empat orang yaitu tiga orang laki-laki dan satuperempuan. Putranyayang tertuabernama I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, I Gusti Ayu Nyoman Rai dan I Gusti Anglurah Ktut Karangasem. Ketiga orang putra inilah yang didaulat menjadi raja Karangasem (raja Karangasem IV/Tri Tunggal I) yang memerintah secara kolektif sebagai suatu hal yang dianggap lazim pada jaman itu. Pemerintahan ini diperkirakan tahun 1680-1705.

Selanjutnya yang menjadi raja Karangasem adalah putra I Gusti Anglurah Nengah Karangasem yaitu I Gusti Anglurah Made Karang (raja Karangasem V). Selanjutnya I Gusti Anglurah Made Karang berputra enam orang, empat orang laki-laki dan dua orang wanita. Salah seorang dari enam putranya yang sulung bernama I Gusti Anglurah Made Karangasem Sakti yang dijuluki Sang Atapa Rare karena gemar menjalankan yoga semadi sebagai pengikut Dang Hyang Astapaka. Dalam keadaan atapa rare inilah beliau menghadapi maut dibunuh oleh prajurit Gelgel atas perintah Cokorda Jambe ketika beliau kembali dari Sangeh.

Diceritakan, atas perkenan Raja Mengwi Sang Atape Rare membangun Pura Bukit Sari yang ada di Sangeh. Sekembalinya dari Sangeh beliau sempat mampir di Gelgel yang pada waktu itu berkuasa adalah Cokorda Jambe. Karena tingkah yang aneh-aneh di istana yang tidak bisa menahan kencing menyebabkan terjadi salah paham, dan dianggap telah menghina raja. Maka setelah keberangkatannya ke Karangasem, beliau dicegat di sebelah timur Desa Kusamba, di padasan Bulatri. sebelum beliau wafat, beliau sempat pula memberikan pesan-pesan kediatmikan kepada putranya yakni I Gusti Anglurah Nyoman Karangasem. Beliau ini kemudian dikenal dengan sebutan Dewata di Bulatri. Peristiwa ini menyebabkan perang antara Karangasem dan Klungkung (Gelgel) yang dikenal dengan pepet (dalam keadaan perang). Setelah gugurnya Cokorda Jambe, maka ketegangan antara Karangasem dan Klungkung menjadi reda.

Tahta di Karangasem kemudian dilanjutkan oleh tiga orang putranya yaitu I Gusti Anglurah Made Karangasem, I Gusti Anglurah Nyoman Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ktut Karangasem (raja Karangasem Tri Tunggal II) yang diperkirakan memerintah 1755-1801. Setelah raja Tri Tunggal wafat, pemerintahan Kerajaan Karangasem dipegang oleh I Gusti Gde Karangasem (Dewata di Tohpati) antara tahun 1801-1806. Pada saat ini Kerajaan Karangasem semakin besar yang meluaskan kekuasaannya sampai ke Buleleng dan Jembrana.

Setelah wafat, I Gusti Gde Ngurah Karangasem digantikan oleh anaknya bernama I Gusti Lanang Peguyangan yang juga dikenal dengan I Gusti Gde Lanang Karangasem. Kemenangan Kerajaan Buleleng melawan Kerajaan Karangasem menyebabkan raja Karangasem (I Gusti Lanang Peguyangan) menyingkir dan saat itu Kerajaan Karangasem dikuasai oleh raja Buleleng I Dewa Pahang. Kekuasaan akhirnya dapat direbut kembali oleh I Gusti Lanang Peguyangan. Pemberontakan punggawa yang bernama I Gusti Bagus Karang tahun 1827 berhasil menggulingkan I Gusti Lanang Peguyangan sehingga melarikan diri ke Lombok, dan tahta Kerajaan Karangasem dipegang oleh I Gusti Bagus Karang.

Ketika I Gusti Bagus Karang gugur dalam menyerang Lombok, pada saat yang sama Raja Buleleng I Gusti Ngurah Made Karangasem berhasil menaklukan Karangasem dan mengangkat menantunya I Gusti Gde Cotong menjadi raja Karangasem. Setelah I Gusti Gde Cotong terbunuh akibat perebutan kekuasaan, tahta Karangasem dilanjutkan oleh saudara sepupu raja Buleleng yaitu I Gusti Ngurah Gde Karangasem.

Pada saat Kerajaan Karangasem jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 20 Mei 1849, raja Karangasem I Gusti Ngurah Gde Karangasem gugur dalam peristiwa tersebut sehingga pemerintahan di Karangasem mengalami kekosongan (vacuum). Maka dinobatkanlah raja Mataram I Gusti Ngurah Ketut Karangasem sebagai raja di Karangasem oleh pemerintah Hindia Belanda. Setelah berselang beberapa waktu kemudian, raja Mataram menugaskan kemenakannya menjadi raja yaitu I Gusti Gde Putu (Anak Agung Gde Putu) yang juga disebut ‘Raja Jumeneng’, I Gusti Gde Oka (Anak Agung Gde Oka), dan Anak Agung Gde Jelantik.

Setelah masuknya Belanda, membawa pengaruh pula dalam hal birokrasi pemerintahan. Pada tahun 1906 di Bali terdapat tiga macam bentuk pemerintahan yaitu (1) Rechtstreeks bestuurd gebied (pemerintahan langsung) meliputi Buleleng, Jembrana, dan Lombok, (2) Zelfbesturend landschappen (pemerintahan sendiri) ialah Badung, Tabanan, Klungkung, dan Bangli, (3) Stedehouder (wakil pemerintah Belanda) ialah Gianyar dan Karangasem. Demikianlah di Karangasem berturut-turut yang menjadi Stedehouder yaitu tahun 1896-1908; I Gusti Gde Jelantik (Dewata di Maskerdam), dan Stedehouder I Gusti Bagus Jelantik yang bergelar Anak Agung Agung Anglurah Ktut Karangasem (Dewata di Maskerdam) antar tahun 1908-1941.

Demikian sajian ringkas sejarah Kerajaan Karangasem yang dijadikan gambaran umum kajian pokok objek penelitian. Deskripsi historis hal ini sangat penting mengingat dalam mengupas bagian peristiwa yang termasuk rentetan sejarah tidaklah bisa dilepaskan dari rangkaian peristiwa yang terjadi. Sehingga dalam segi manfaat, dimensi waktu akan dapat ditangkap oleh pembaca mengenai kurun waktu peristiwa dimaksud. Demikian pula dalam kajian ini, maka objek penekanannya adalah saat masa raja Karangasem dinasti Tri Tunggal I yaitu I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ktut Karangasem.

Masa Dinasti Tri Tunggal I

Masa kekuasaan Kerajaan Karangasem Tri Tunggal I menjadi sajian yang perlu mendapat pemahaman dalam relevansinya menjabarkan objek penelitian. Ketika pemerintahan Kerajaan Karangasem yang diperintah oleh Tri Tunggal I yaitu I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ktut Karangasem inilah muncul mitologi Pura Bukit sebagaimana diceritakan dalam buku Kupu-Kupu Kuning. Saudara raja Tri Tunggal yang bernama I Gusti Ayu Nyoman Rai diambil menjadi istri oleh Ida Bhatara Gde di Gunung Agung yang kemudian melahirkan Ida Bhatara Alit Sakti yang kini bermukim di Pura Bukit.

www.fadlie.web.id
 
Agunk Bangli menerima pembuatan website. hubungi lewat email : rama_agunk@yahoo.com